ALT_IMG

Estimasi HIV dari waktu ke waktu

Jadi tergelitik untuk menuliskan sesuatu setelah membaca posting salah satu senior saya didunia pengendalian HIV - mas Very Kamil - tentang ajakan mengingatkan pemangku kebijakan untuk bijak dalam menggunakan angka estimasi populasi rawan terinfeksi HIV dan ODHA dalam perencanaan program.Readmore...

ALT_IMG

Keberatan Nama

Berbekal nama jabatan yang mentereng (Senior Technical Specialist) dari tempat kerja di International NGO, maka jadilah didaulat untuk memfasilitasi diskusi kelompok beberapa Bappeda dalam isu yang baru dipelajari kurang dari 2 minggu. Malu rasanya harus bersanding dengan para sesepuh yang sudah malang melintang sejak puluhan tahun lalu Readmore..

Alt img

Kepentok korupsi lagi

Padahal sudah coba menghindari berkecimpung langsung dalam proyek-proyek anti-korupsi, setelah merasa tidak bisa banyak berbuat lagi... Tapi pandangan hanya tenaga guru dan kesehatan yang tutup mata atau ikut serta dalam praktek korupsi yang bisa bertahan didaerah terpencil ini cukup mengganggu, Readmore...

Pedihnya hidup Tukang Ojek Langganan

0 comments
Wajahnya terlihat lebih sumringah dari biasanya ketika mengacungkan tangan .untuk memberi tahu bahwa dia ada dan siap bertugas diantara sebaris tukang ojek yang menanti penumpang. Aku memang mengikat perjanjian tak tertulis untuk selalu menggunakan jasanya mengantar pulang dari Stasiun Cilebut. Selain malas untuk selalu menegosiasikan harga dan menyebutkan tujuan setiap kali naik ojek untuk pulang, ojek di Stasiun Cilebut juga tidak menerapkan sistem antrian, sehingga penumpang punya kuasa penuh untuk memilih walaupun tukang ojek juga memiliki kuasa untuk menolak jika dirasa harganya kurang sesuai.
Setelah berjalan beberapa saat, baru kusadari motor tukang ojek langganan ini beda dari biasanya dan memang ternyata motor baru. Jadilah topik obrolan diperjalanan santai kali ini tentang motor barunya. Mulai dari alasan dan pertimbangan memilih jenis dan produsen hingga harga. Harganya jika beli kontan sekitar 13 jutaan, tetapi karena tidak punya uang sebanyak itu, ia membelinya melalui kredit dari salah satu penyedia kredit yang bukan bank dan sudah dikenal luas di Indonesia. Uang muka yang dibayarkan memang cukup kecil yaitu sekitar 10% dari harga motor tersebut, dengan cicilan 700 ribuan/bulan selama 30 bulan. Jadi total yang akan dibayarkannya dalam 2.5 tahun adalah 22.3 juta rupiah atau 9.3 juta rupiah (71%) lebih mahal dari harga beli kontan. Jika perbedaan harga kontan dan cicilan itu dikonversi dalam bunga pertahun maka sekitar 28.5% atau hampir 6 kali lebih mahal dari kredit kendaraan bermotor yang ditawarkan salah satu bank swasta nasional.....
Sungguh miris mendengarnya, hanya karena status sosial ekonominya tukang ojek ini harus menanggung beban bunga kredit yang berkali lipat lebih banyak, diperas dan dieksploitasi secara ekonomi oleh sistem yang tak berpihak, serta harus bekerja lebih keras untuk membawa keluar keluarga dan anak-anaknya dari lingkaran setan pemiskinan secara sistematis. Terlebih lagi pada akhir minggu kemarin melihat sebuah bank swasta nasional memberikan fasilitas cicilan 24 bulan dengan bunga 0% untuk belanja mebeler dan houseware mewah disebuah pusat perbelanjaan di Bogor sampai batas maksimal kartu kredit yang bisa mencapai harga sebuah atau lebih motor baru tukang ojek ini .....
Sesampainya dirumah, beban berat yang harus ditanggung tukang ojek langganan masih menggelayuti pikiran, karena jika dihitung secara matematis, dia harus menutupi biaya cicilan dengan melayani minimal 4 pelanggan per hari, belum termasuk bensin, biaya perawatan serta pungutan liar dari preman beneran dan yang berlindung dibalik seragam yang dibeli dari uang pajak motor sang tukang ojek. Dia harus mendapatkan uang minimal 120 ribu rupiah untuk bisa membawa pulang 20 ribu rupiah buat keluarganya, atau 13 - 15 pelanggan setiap harinya. Sungguh beban yang sangat berat ditengah menjamurnya tukang ojek dan hampir tidak adanya perlindungan apapun dari yang dititipi kekuasaan oleh mereka.
Continue reading →

SMS Survey - Pembelajaran cara transfer pulsa yang efektif

0 comments
Salah satu tantangan yang cukup memusingkan ketika situasi mengharuskan kami mengelola secara mandiri pelaksanaan SMS Survei adalah cara untuk mengirimkan pulsa pengganti dan insentif bagi responden yang sudah menjawab lengkap semua pertanyaan. Sejak dari perencanaan memang sudah diputuskan untuk mengirimkan pulsa telpon seluler kepada responden sebesar Rp. 10.000,- walaupun pulsa yang mereka gunakan untuk menjawab semua pertanyaan survei tidak lebih dari Rp. 2.000,-. 

Permasalahannya adalah karena jumlah responden yang cukup banyak (lebih dari 8.000) dan menggunakan berbagai penyedia layanan seluler, keharusan untuk mengirimkan pulsa segera setelah responden memberikan jawaban dari pertanyaan terakhir, serta tim kami yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali dalam mengelola hal dimaksud. Maka kami melakukan asesmen dari beberapa pilihan yang disarankan oleh orang-orang yang kami tanyakan pengalamannya. Berikut hasil penilaian kami dari 4 pilihan yang mungkin dilakukan, dan mudah-mudahan bisa membantu teman yang bermaksud melakukan hal yang similar.

Pilihan 1 adalah bekerja sama dengan penjual pulsa elektronik, dimana kami harus menyediakan nomor HP responden yang sudah memberikan jawaban lengkap kepada sang penjual yang akan mengirimkan pulsa setiap harinya. Pilihan ini tidak kami lakukan karena:

  • Membutuhkan waktu dan tenaga khusus untuk memeriksa satu persatu responden yang sudah menjawab dengan lengkap
  • Sulit untuk melakukan kontrol apakah pulsa benar sudah diterima responden sehingga harus bergantung pada kejujuran sang penjual. 
  • Akan ada waktu tunda yang cukup lama (bisa 8 – 24 jam) antara selesainya responden menjawab hingga mereka menerima pulsa pengganti dan insentif
  • Margin keuntungan yang ditetapkan penjual pulsa cukup besar yaitu sekitar 10-25% dari nilai pulsa yang dikirimkan ke responden.


Pilihan 2 adalah membeli voucher pulsa non-elektronik, mencatat kode voucher dan memasukannya kedalam sistem pengiriman pulsa pada aplikasi SMS survey yang kami gunakan agar bisa dikirim secara otomatis segera setelah responden menjawab pertanyaan terakhir. Pilihan ini, walaupun lebih menjanjikan dari pilihan 1, pada akhirnya juga tidak kami gunakan dengan alasan sebagai berikut:

  • Membutuhkan waktu dan tenaga khusus untuk mencari, membeli dan mencatat voucher pulsa senilai Rp 10.000,- dari semua penyedia layanan seluler yang cukup sulit dicari.
  • Walaupun bisa kami bisa mengontrol pengiriman dengan baik tetapi estimasi jumlah voucher yang harus kami beli cukup sulit dilakukan, karena tidak ada referensi berapa % responden yang menggunakan jasa telkomsel, indosat, XL dan penyedia lainnya akan menjawab dengan lengkap. Sehingga ada potensi sebagian voucher yang dibeli tidak dapat digunakan.
  • Bisa diintegrasikan dengan aplikasi SMS Survey sehingga dapat dikirim segera setelah responden menjawab pertanyaan terakhir, walaupun demikian responden masih harus menggunakan kode voucher secara manual untuk mendapatkan pulsa pengganti dan insentif
  • Harga voucher pulsa non/elektronik untuk pulsa senilai Rp. 10.000,- berkisar antara 10-20% lebih mahal dari nilai pulsa.


Pilihan ke 3 adalah memanfaatkan fasilitas transfer pulsa dengan SMS atau USSD (Unstructured Supplementary Service Data). Hampir semua penyedia mempunyai fasilitas transfer pulsa dengan salah satu atau kedua cara tersebut. Walaupun lebih menjanjikan dari pilihan 1 dan 2 tetapi akhirnya tidak kami gunakan juga dengan alasan sebagai berikut:
  • Tidak membutuhkan waktu dan tenaga khusus untuk menjalankannya karena otomatisasi code perintah transfer pulsa dengan SMS dan USSD bisa diintegrasikan dengan aplikasi SMS Survey, tetapi transfer pulsa hanya dapat dilakukan kepada pengguna dengan penyedia yang sama. Artinya kami harus menyediakan HP dengan kartu dari semua penyedia dan deposit yang cukup untuk melakukan transfer pulsa.
  • Walaupun proses pengiriman bisa kami kendalikan tetapi tidak ada notifikasi atau bukti secara otomatis bahwa pulsa yang ditransfer sudah diterima responden, sehingga bisa menimbulkan isu akuntabilitas bagi kami dalam prosesnya.
  • Walaupun biaya yang dibebankan hanya 6-8% untuk transfer pulsa senilai Rp 10.000,- tetapi memperkirakan berapa jumlah pulsa yang harus kami sediakan untuk setiap penyedia cukup sulit sehingga ada potensi besar untuk kelebihan stok pulsa yang tidak bisa digunakan


Pilihan 4 yang kemudian menjadi pilihan kami untuk melakukan transfer pulsa kepada responden SMS Survey adalah menggunakan metode Online Payment and Reload System (OPRS) yang di Indonesia dikenal sebagai sistem Payment Point Online Banking (PPOB). Agar mudah di mengerti, pada dasarnya kami mendaftar sebagai agen penjual pulsa elektronik (tanpa biaya) disalah satu distributor PPOB sehingga mendapatkan akun (kode akun dan personal identification number/PIN) untuk bertransaksi (mengirimkan pulsa ke semua nomor HP prabayar GSM dan CDMA) dan memonitor semua transaksi secara online. Alasan mengapa kami menggunakan cara ini adalah:
  • Kode transaksi dari 1 akun dan HP bisa untuk transfer ke semua nomor HP prabayar dan bisa diotomatisasi dengan aplikasi SMS survey yang digunakan
  • Proses pengiriman bisa dikendalikan sepenuhnya dan bukti transaksi pengiriman dan penerimaan pulsa disediakan dalam sebuah website
  • Perintah otomatisasi transfer cukup mudah dan harganya juga hanya 4 - 10% lebih mahal dari nilai pulsa yang dibeli.
  • Tidak perlu memperkirakan jumlah pulsa yang akan digunakan untuk masing-masing operator seluler karena deposit pada akun bersifat umum untuk semua penyedia. Walaupun demikian tetap dibutuhkan manajemen ketersediaan deposit pulsa pada akun secara berkala.

Continue reading →

Birokrasi yang merampas kecerdasan anak bangsa

0 comments
Masalahnya memang tidak sederhana tetapi solusinya cukup nyata didepan mata. Sayangnya keinginan baik, empati dan keberanian untuk berbuat benar masih menjadi barang mewah dikalangan mereka yang diberi kuasa.

Anak-anak disebagian wilayah kecamatan diujung timur kabupaten Sidoardjo dan muara sungai Porong ini seolah tak henti dirundung masalah. Tak cukup hanya beberapa sekolah terpaksa ditutup karena terdampak kerakusan lumpur Lapindo, kini masalah laten yang tak pernah tuntas diselesaikan menghantui untuk merampas kecerdasan mereka.

Sudah sejak lama air tanah yang menjadi sumber air bersih mereka sedari dalam kandungan tercemar logam berat timah hitam (plumbum) hingga pada tingkat toksik atau bisa meracuni. Hal ini menyembabkan banyak dampak kesehatan dimana salah satunya adalah menghambat tubuh untuk menyerap yodium sebagaimana seharusnya.

Masalah yang sudah terang benderang dan terjadi selama bertahun-tahun dengan penyelesaian yang terkotak pada birokrasi dan tupoksi masing-masing unit kerja pemerintah ini menyebabkan hampir 2 dari 3 anak SD disana terindikasi gondok dari pemeriksaan palpasi (meraba) bagian leher. Tak terbayangkan berapa banyak yang terampas kecerdasannya, karena menurut teori, terhambatnya perkembangan kecerdasan mental dan intelektual ada di lapisan dasar gunung es populasi yang mengalami gangguan akibat kekurangan yodium, tepat dibawah gondok...

Dari diskusi-diskusi singkat, terlihat sekali unit kerja pemerintah yang mengelola program nutrisi (iodium masuk dalam kategori nutrisi mikro atau sedikit kebutuhannya tetapi besar dampaknya bila tak dicukupi), seperti juga unit kerja lainnya sudah tahu masalah ini, akarnya, bahkan solusi tuntas yang seharusnya dilakukan. Namun batasan birokrasi dan tupoksi serta lemahnya koordinasi antar unit dalam lembaga yang sama terlebih antar lembaga, membuat  mereka hanya bisa melakukan upaya dalam kaca mata kuda rentang kendalinya saja.

Memberikan tablet yodium dosis tinggi pada ibu hamil menjadi pilihan intervensi dari unit kerja nutrisi. Walaupun tahu bahwa masalahnya adalah penyerapan yodium dalam tubuh yang terhambat akibat cemaran logam berat dan bukan karena kurangnya asupan, tetapi tetap saja intervensi yang seperti kebalikan menggarami air laut tersebut dilakukan, buah dari kacamata kuda birokrasi dan tupoksi. Sementara unit-unit kerja yang mengola program ketersediaan air bersih juga tidak melakukan sesuatu yang berarti karena terbatasnya anggaran dan kurangnya keberpihakan dari para penentu kebijakan kemana uang rakyat harus dianggarkan.

Unit kerja yang bertugas mengendalikan lingkungan tak kalah birokratisnya dalam memandang masalah ini. Walaupun studi-studi cemaran logam berat di sisi sungai Porong cukup mudah didapat di dunia maya, begitu juga referensi tentang logam berat yang biasanya mengendap didasar sumber air, tetapi tetap saja tupoksi pemeriksaan air permukaan yang dilakukan. Sehingga hasilnya terlihat baik-baik saja dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengendalikan cemaran.

Tidak hanya birokrasi unit kerja pemerintah yang berkontribusi pada situasi tersebut, peran birokrasi lembaga-lembaga donor pun tak kalah menariknya untuk di lihat. Selain pragmatis dan berorientasi proyek jangka pendek, lembaga donor sering kali over claims pada apa yang dilakukannya dan menimbulkan persepsi keliru pada lembaga donor lainnya maupun pemerintah. Contoh yang nyata adalah ketika ditanya lokasi program sanitasi total termasuk air bersih, maka donor terbesar di Indonesia ini menyebutkan kabupaten Sidoardjo sebagai wilayah yang di intervensi. Sekilas tidak ada yang salah memang, tetapi jika ditanya lebih jauh diberapa kecamatan dari 18 yang ada maka jawabannya sungguh mengejutkan, yaitu hanya di 5 dari ratusan desa yang ada...
Sementara donor lainnya tidak mau melakukan intervensi disana karena birokrasi kacamata kudanya mencegah mereka overlaping kabupaten dengan bantuan yang judul besar intervensinya sejenis.

Tidak banyak yang dapat dilakukan karena berada diluar lingkaran sistem untuk membantu, tetapi setidaknya doa dan rencana untuk menuliskan proposal dan mencarikan donor yang mau melakukan upaya nyata menjadi agenda utama dalam beberapa waktu kedepan. Bagi teman yang bersedia probono membantu please PM ya.....

Continue reading →

Keputusan berbasis bukti

1 comments
Jadi teringat sebuah tulisan tentang pemangku kebijakan dan keputusan berbasis bukti ketika seorang teman mempertanyakan kepada diri dan timnya tentang model pengambilan kebijakan di lembaganya. Padahal tempatnya bekerja selalu mempromosikan diri sebagai policy broker yang menggunakan evidence based decision.

Kata tulisan tersebut, masalah pemangku kebijakan yang menyebabkan mereka sulit memakai bukti-bukti berbasis penelitian dapat disingkat menjadi 5S, yaitu:
  1. Speed (selalu ingin cepat)
  2. Superficiality (hanya mau tahu hal-hal dipermukaan saja)
  3. Spin (suka memelintir fakta untuk kepentingan diri dan golongannya)
  4. Secrecy (menyembunyikan fakta untuk tujuan politik sempit), dan
  5. Scientific ignorance (cuek dengan hal-hal ilmiah)
Tulisan itu juga menyarankan agar para peneliti dan policy broker menyederhanakan informasi kualitatif kedalam bentuk yang bisa di kuantifikasi agar lebih mudah dicerna dan dibeli oleh pemangku kebijakan. Tulisan yang menarik, sayangnya lupa menyimpan dimana jadi hanya bisa berbagi potongan yang teringat....

Pengalaman mengkuantifikasi informasi kualitatif ketika membuat district expanded readiness assessment for HIV program beberapa tahun lalu, memberikan sedikit pencerahan tentang tahapan praktis membuat kerangka indeks informasi kualitatif agar bisa menghasilkan informasi yang kredibel, yaitu:
  • Merumuskan definisi dan dimensi dari indeks yang akan dibuat
  • Menentukan indikator dari setiap dimensi
  • Memberi bobot untuk setiap indikator, dan
  • Merumuskan skala untuk setiap indikator.
Hasilnya memang seperti tidak menggambarkan upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi dasarnya. Puluhan fasilitator yang terlibat dalam banyak sesi diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan hanya tergambar dalam 1 buah grafik jaring laba-laba yang tidak sampai 10 menit ditayangkan ketika sudah jadi dan siap saji. Sayang juga tidak terlibat sampai tuntas untuk bisa belajar dinamika prosesnya, dan melihat serta berbagi dampaknya pada pemangku kebijakan...
Continue reading →