Akhirnya kemarin kasus perlakuan stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan di Jakarta dan terjadi pada seorang anak dimana orang tuanya terinfeksi HIV bisa mendapatkan penyelesaian yang elegan. Lembaga pendidikan tersebut akhirnya mau mengakui kekeliruannya dan meminta maaf secara terbuka pada orang tua dari anak tersebut dan menerima kembali anak tersebut. Sungguh sebuah momentum yang sangat berharga bagi upaya-upaya pengurangan sikap stigma dan diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV
Dalam budaya masyarakat yang masih memegang nilai-nilai luhur tradisional, ada pepatah yang mengatakan bahwa seseorang akan menuai hasil dari apa yang telah diperbuatnya. Pepatah yang cukup populer dan terlanjur mengakar tersebut kemudian berkembang menjadi wacana seputar adanya hukum karma. Tidak heran jika ada seseorang yang tertimpa suatu musibah akibat berperilaku buruknya, maka banyak orang cenderung mengatakan bahwa hal itu adalah buah dari perilaku buruknya, hukum karma telah berlaku padanya. Pandangan tersebut cenderung menggiring manusia untuk mudah memberi vonis berupa stigma tertentu pada seseorang yang pada akhirnya akan melahirkan sikap diskriminasi pada orang tersebut. UNAIDS mendefiniskan stigma dan diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri negatif yang diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tindakan yang tidak wajar dan tidak adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIV-nya.
Ada dua hal penting yang bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa telah terjadi stigma dan diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV. Pertama, pihak yang menjatuhkan stigma ataupun diskriminasi kepada seorang yang terinfeksi HIV, harus mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV. Kedua, stigma ataupun diskriminasi yang dilakukan memang karena status orang tersebut sebagai orang terinfeksi HIV, bukan karena sebab lainnya. Stigma dan diskriminasi juga dapat timbul dari perasaan takut yang diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang cara penularan dan pemahaman yang salah tentang HIV.
Stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang terinfeksi HIV bisa datang dari berbagai kelompok masyarakat. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, sekolah, serta lingkungan komunitas lainnya. Tidak hanya sampai disitu, fasilitas kesehatan yang menjadi tempat para orang terinfeksi HIV berjuang untuk dapat hidup layaknya orang yang tidak terinfeksi, pada kenyataannya masih kerap terjadi diskriminasi terhadap mereka.
di Tujuh Provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana 996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART) terinfeksi HIV berpartisipasi dalam survei tersebut, dapat kita ketahui bahwa 36% Ruta orang terinfeksi HIV pernah mengalami tindakan stigma dan diskriminasi dari tentangganya. Perlakuan stigma dan diskriminasi tersebut mulai dari ditolak keberadaannya, mengalami kekerasan verbal, anak-anaknya dilarang bermain bersama teman sebayanya, tidak diundang dalam kegiatan di lingkungan, dilarang menggunakan fasilitas umum hingga kekerasan secara fisik.
Selain itu juga, 1 dari 2 responden orang terinfeksi HIV (53% laki-laki dan 57% perempuan) merasa pernah mengalami perlakuan diskriminasi dari fasilitas layanan kesehatan. Tindakan stigma dan diskriminasi dari fasilitas kesehatan yang pernah diterima responden berupa diberi kode-kode khusus (41%), petugas kesehatan menggunakan pelindung yang berlebihan (11%), ditolak dalam perawatan medis (8%), tenaga kesehatan tidak mau menyentuh responden (8%), diisolasi (7%), penanganan di UGD di terakhirkan (6%), mendapat kekerasan verbal (5%), tidak diijinkan menggunakan toilet dan peralatan makan faskes tersebut (3%) dan kekerasan fisik (1%).
Situasi ini juga sangat memprihatinkan dan kontraproduktif terhadap berbagai upaya pengendalian epidemi HIV di Indonesia. Mudah-mudahan para pemangku kebijakan juga mau memperhatikan data-data yang sudah disebar luaskan sejak tahun lalu ini serta melakukan tindakan yang sistematis dan terukur, dan bukan hanya tindakan reaktif dari sebuah kasus yang diblow-up besar-besaran oleh media saja. Atau jika memang para pemangku kebijakan di negeri ini baru merespon jika sesuatu sudah dipublikasi dengan luas, maka para pegiat HIV perlu juga mengkaji cara-cara seperti itu yang mungkin lebih efektif untuk mengurangi stigma dan diskriminasi