Data pengeluaran (dalam Rupiah) yang dibedakan menurut kelompok makanan, bukan makanan, dan non konsumsi dapat digunakan untuk melihat pola pengeluaran rumah tangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, pemenuhan kebutuhan makanan akan menjadi prioritas utama, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan (BPS,2008).
Pola pengeluaran dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk, dimana semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran maka semakin baik tingkat perekonomian penduduk. Seperti hukum yang dikemukakan oleh Engel dalam BPS (2008) bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan, hukum ini ditemukan Engel dari perangkat data survei pendapatan dan pengeluaran .
Adapun faktor yang mempengaruhi biaya hidup suatu rumah tangga diantaranya adalah jumlah anggota rumah tangga dan harga-harga barang terutama barang kebutuhan pokok. Dengan semakin tinggi harga barang terutama barang kebutuhan pokok dan semakin banyak anggota rumahtangga, maka akan semakin tinggi pula pula pengeluaran di rumah tangga tersebut.
HIV dan AIDS bisa mempengaruhi tingkat dan pola konsumsi rumah tangga. Bahkan HIV dan AIDS bisa memiliki dampak yang sangat serius pada individu tertentu dan pada ekonomi Negara. Pengeluaran untuk kebutuhan pengobatan terkait HIV dan AIDS sering membuat rumah tangga harus menekan pos pengeluaran lainnya. Untuk keluarga menengah bawah dan miskin, sering kali anggaran yang harus ditekan atau dihentikan adalah anggaran untuk pengeluaran-pengeluaran dasar seperti makanan, pakaian dan bahkan pendidikan untuk anak. Berkurangnya penghasilan ini tidak terlepas dari fakta bahwa umumnya anggota keluarga yang terinfeksi HIV adalah mereka yang berada pada usia produktif yang berperan sebagai pencari penghasilan untuk keluarga.
Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu dan Rumah Tangga Dengan HIV di 7 provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana 996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART) terinfeksi HIV dan 996 ruta tanpa orang terinfeksi HIV sebagai ruta kontrol berpartipasi,menunjukan adanya dampak nyata HIV terhadap pola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga ODHA.
Jika dibandingkan antara rumah tangga ODHA dan rumah tangga Non-ODHA, pendapatan per kapita perbulan pada rumah tangga ODHA lebih tinggi dibandingkan pada rumah tangga Non-ODHA. Seiring dengan pendapatan, pengeluaran per kapita pada rumah tangga ODHA juga jauh lebih tinggi dibandingkan pada rumah tangga Non-ODHA. Untuk mengatasi hal tersebut, diduga rumah tangga ODHA mengatasi kekurangan pendapatan tersebut menggunakan kiriman yang berasal dari rumah tangga lain. Besarnya kiriman/pinjaman yang diterima rumah tangga ODHA 2,3 kali lebih besar dibandingkan kiriman yang diterima rumah tangga Non-ODHA. Walaupun demikian tetap saja total pendapatan per kapita per bulan rumah tangga ODHA lebih kecil dari penerimaannya. Hal ini berbeda dengan rumah tangga Non-ODHA dimana rerata pendapatan total (pendapatan murni + kiriman) lebih tinggi dari pengeluaran per kapita per bulannya.
Dilihat dari pengeluaran, survei tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah penghasilan bulanan rumah tangga target dan kontrol digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakaian/alat dan fasilitas rumah tangga dan bahan makanan dan minuman. Perbedaan terlihat pada jenis bahan makanan yang dibeli. Rumah tangga ODHA cenderung lebih banyak membeli makanan jadi dibandingkan dengan rumah tangga Non-ODHA. Sedangkan rumah tangga Non-ODHA cenderung lebih banyak membeli bahan makanan dibandingkan dengan rumah tangga ODHA. Ada banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya, seperti adanya kebutuhan jenis makanan jadi tertentu untuk anggota keluarga yang terinfeksi HIV atau alasan kemudahan, mengingat dalam Penelitian ini lebih banyak rumah tangga ODHA yang tinggal di rumah sewa/kontrakan dengan fasilitas sumber air dan mungkin dapur yang terbatas.
Perbedaan paling mencolok terlihat pada pengeluaran untuk biaya kesehatan. Rumah tangga ODHA mengeluarkan 11% dari pengeluaran bulanannya untuk biaya kesehatan. Angka ini jauh lebih besar dari pada keluarga Non-ODHA yang hanya mengeluarkan 3 % dari total pengeluarannya.
Terkait dengan kebutuhan kesehatan ini, rumah tangga ODHA terpaksa harus mengurangi pengeluaran-pengeluaran pokok seperti bahan makanan dan minuman, pakaian dan alat rumah tangga, barang konsumsi dan bahkan pendidikan. Hal ini tidak mengejutkan karena elastisitas pengeluaran untuk makanan biasanya disebabkan karena adanya kebutuhan untuk pengeluaran selain makanan yang sangat penting, misalnya acara-acara adat, perkawinan, ataupun untuk pengobatan.
Hal yang menarik adalah rokok. Data menunjukkan bahwa rumah tangga ODHA cenderung membelanjakan lebih banyak penghasilannya untuk membeli rokok dibandingkan dengan keluarga Non-ODHA. Walaupun hubungan antara rokok tidak bisa digeneralisir dengan HIV dan AIDS, temuan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga ODHA tetap mengalokasikan jumlah yang signifikan untuk kebutuhan rokok.