Menebus tanggung jawab moral - Dampak HIV Pada Pendidikan Anak di Indonesia

0 comments
Setelah cukup lama tidak berbicara tentang HIV, maka hari ini sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban moral kepada responden, akhirnya saya dapat mempresentasikan sebagian kecil hasil penelitian dampak sosial ekonomi HIV pada rumah tangga dan individu...

Sayangnya para pejabat yang menjadi sasaran utama tidak hadir di Child Povertyand Social Protection Conference (Hotel Sahid 10-11 September 2013)... Mudah-mudahan ada yg menyampaikan ketelinga mereka.
 
 


Dampak HIV Pada Pendidikan Anak di Indonesia 

       i.            Latar Belakang

HIV dan AIDS sudah menjadi masalah yang serius untuk negara-negara berkembang maupun negara maju dalam beberapa tahun terakhir. Sejak awal dekade 20-an, penduduk yang terinfeksi virus HIV di Indonesia jumlahnya terus bertambah secara signifikan. Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang disampaikan dalam sidang umum PBB tentang AIDS (UNGASS) 2006-2007 antara lain menyebutkan bahwa pada saat sekarang ini negara Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan laju pertumbuhan epidemi HIV paling cepat di Asia[1]. Namun dibanding dengan negara-negara di Asia pada umumnya, persentase orang dengan HIV di Indonesia pada tahun 2009 masih tergolong rendah yaitu sekitar 0,15 persen. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 186.000 penduduk dewasa Indonesia hidup dengan HIV[2].
Penyebaran dan penularan HIV di Indonesia secara cepat pada umumnya terjadi pada populasi Pengguna Napza Suntik (Penasun). Di lain pihak, peningkatan prevalensi HIV secara signifikan juga terjadi akibat penularan melalui hubungan seksual yang dilakukan oleh Pekerja Seks (PS) dan Penasun[3]. Interaksi kelompok PS dan Penasun dalam penyebaran dan penularan HIV memberikan kontribusi besar terjadinya gelombang epidemi baru yang akan menjadi pemicu utama meningkatnya epidemi HIV pada masa-masa yang akan datang.
Peningkatan prevalensi HIV pada level makro atau secara nasional belum menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang cukup berarti. Dampak tersebut secara signifikan hanya dapat dirasakan pada level mikro, antara lain pada level rumah tangga, khususnya rumah tangga yang salah satu atau beberapa orang anggotanya terinfeksi HIV[4]. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) serta rumah tangganya cenderung dibebani berbagai masalah antara lain menderita berbagai penyakit kronis, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, peningkatan pengeluaran untuk kesehatan, menipisnya tabungan atau aset lainnya, tekanan psikologis, diskriminasi dan pembatasan sosial. Dampak sosial bagi orang yang hidup dengan HIV juga bisa terjadi karena sikap/perlakuan anggota rumah tangganya.
Laporan dari Independent Commission of AIDS di Asia4 juga menggaris-bawahi pentingnya kesadaran untuk mengakui beratnya beban sosial ekonomi yang harus ditanggung oleh rumah tangga dan anak-anak akibat epidemi HIV dan merumuskan cara mengatasinya. Diperkirakan biaya ekonomi selama setahun untuk AIDS pada seluruh rumah tangga di Asia adalah sekitar US $ 2 milyar. Setiap kematian akibat AIDS mengakibatkan kerugian paling sedikit US $ 5,000 atau setara dengan 14 tahun hidup produktif yang dihitung dengan modus sebesar US $ 1 per hari. Pengeluaran kesehatan tersebut akan mendorong rumah tangga miskin menjadi semakin miskin. Dengan level infeksi yang sama, pada tahun 2015 mendatang, diperkirakan AIDS akan menambahkan sebanyak enam juta orang di bawah garis kemiskinan di Asia.
Pentingnya pendidikan sebagai dasar utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan.  Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di dalam pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat sebagai ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000).  Namun, fakta menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya karena HIV dan AIDS.  Secara global , HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas, selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Sejalan dengan meningkatnya prevalensi HIV di Indonesia, dampak sosial ekonomi termasuk pendidikan untuk anak akibat infeksi HIV mulai dirasakan oleh ODHA dan keluarganya. Indikasi ini antara lain terlihat dari terjadinya kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap ODHA maupun keluarganya di beberapa wilayah di Indonesia. Kasus-kasus perlakuan diskriminasi pada ODHA maupun rumah tangganya merupakan indikasi adanya dampak sosial ekonomi yang harus diderita oleh ODHA maupun keluarganya termasuk anak-anak. Pertanyaan penting yang muncul di sini adalah apakah dampak tersebut secara makro dirasakan oleh setiap ODHA maupun rumah tangganya di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, data/informasi dan analisis yang menyajikan gambaran secara rinci tentang dampak sosial ekonomi infeksi HIV baik bagi ODHA maupun rumah tangganya di Indonesia masih belum tersedia. Padahal data tersebut sangat dibutuhkan untuk perencanaan dan perumusan berbagai program penanggulangan dampak sosial ekonomi dari infeksi HIV.
Pada sisi lain, laporan KPAN juga mengungkapkan bahwa salah satu kendala yang menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia selama ini adalah keterbatasan data dan hasil analisis mengenai HIV dan AIDS. Ketersediaan data tersebut mutlak diperlukan dalam rangka mempelajari dan memahami epidemi HIV dengan lebih baik dan merancang langkah antisipasi. Sejalan dengan itu, ketersediaan data dan hasil analisis HIV dan AIDS secara lengkap mulai dari prevalensi, pola penyebaran, kelompok berisiko serta dampaknya, saat ini merupakan kebutuhan krusial yang harus segera dipenuhi.
Dalam rangka memenuhi sebagian kebutuhan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan UNDP, ILO, UNV dan JOTHI (Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia) menyelenggarakan kegiatan Penelitian Dampak Infeksi HIV Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun 2009. Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh gambaran tentang dampak sosial ekonomi HIV pada rumah tangga di Indonesia dan mengidentifikasi cara penanggulangannya. Penelitian yang serupa telah dilakukan oleh sejumlah negara di Asia, antara lain India (2006), China (2007) dan Kamboja (2008).
Kegiatan Penelitian ini secara keseluruhan dilaksanakan di tujuh provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Dari ke tujuh provinsi terpilih tersebut, provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur mewakili wilayah yang memiliki prevalensi HIV rendah, sedangkan lima provinsi lainnya mewakili wilayah yang memiliki prevalensi tinggi. Kombinasi dari kedua kelompok wilayah tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang representatif.

     ii.            Metodologi

Dalam upaya memperoleh gambaran mengenai dampak sosial ekonomi infeksi HIV terhadap ODHA dan rumah tangganya secara lengkap dan komprehensif, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua jenis metode, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan survei yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen baku berupa daftar pertanyaan/kuesioner terstruktur dan buku pedoman pencacahan, sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan penelitian mendalam (indepth study) dan Focus Group Discussions (FGD).
Rumah tangga yang menjadi unit observasi terdiri dari dua kategori, yaitu rumah tangga ODHA dan rumah tangga Non-ODHA yang berfungsi sebagai rumah tangga kontrol atau pembanding. Rumah tangga ODHA yang dimaksudkan dalam studi ini adalah rumah tangga yang minimal mempunyai satu anggota rumah tangga terinfeksi HIV. Selain rumah tangga, unit observasi dalam studi ini juga mencakup individu yang terinfeksi HIV.
Penelitian kualitatif berupa wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus, dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran atau informasi penting yang tidak dapat diperoleh melalui kegiatan survei. Kegiatan penelitian kualitatif dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur dengan responden ODHA terpilih. Wawancara tersebut dilakukan secara langsung tanpa menggunakan kuesioner baku seperti pada kegiatan survei.
Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan data dan analisis mengenai dampak sosial ekonomi HIV dan AIDS terhadap rumah tangga ODHA, maka fokus dari penelitian ini adalah rumah tangga.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini diselenggarakan di tujuh provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua yang meliputi 13 kota untuk penelitian kuantitatif dan 7 kota untuk penelitian kualitatif. Detail lokasi penelitian tercantum di dalam tabel dibawah. Dari keseluruhan provinsi terpilih, provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur mewakili wilayah yang memiliki prevalensi HIV rendah, sedangkan lima provinsi lainnya mewakili wilayah yang memiliki prevalensi tinggi. Kombinasi dari kedua kelompok wilayah tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang representatif.

Rancangan Sampel

Hingga saat ini data yang akurat tentang jumlah dan sebaran orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) masih belum tersedia. Padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk membentuk kerangka sampel (sampling frame) yang akan dijadikan dasar pengambilan sampel untuk keperluan survei-survei yang berbasis pada probability sampling. Kendala-kendala tersebut mengakibatkan seluruh penelitian mengenai masalah HIV dan AIDS yang selama ini telah dilakukan di Indonesia masih terbatas pada penelitian mikro atau studi kasus.
Sedangkan data ODHA yang dikumpulkan oleh fasilitas kesehatan masih cenderung under estimate, karena tidak semua orang yang terinfeksi HIV datang berobat ke fasilitas kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh Aditya (1994), jumlah kasus AIDS yang tercatat selama ini hanya merupakan puncak dari sebuah gunung es. Secara statistik, data tersebut tidak valid untuk digunakan sebagai dasar untuk penyusunan kerangka sampel yang berbasis probability sampling.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama kendala tidak tersedianya data jumlah dan sebaran orang yang terinfeksi HIV, rancangan sampel (sampling design) yang digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan SDGK09 ini adalah sampling kuota (quote sampling). Besarnya kuota jumlah rumah tangga sampel (sampel size) pada masing-masing provinsi dilakukan secara bebas/independen. Dimana untuk melihat kelayakannya tetap memperhatikan banyaknya kasus AIDS yang terjadi di masing-masing provinsi sebagai validator.  Alokasi jumlah rumah tangga sampel untuk masing-masing provinsi secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Alokasi Jumlah Rumah Tangga Sampel SDGK09 Menurut Provinsi
Provinsi
Banyaknya Kasus AIDS
Jumlah Rumah Tangga Sampel
RT Target
RT Kontrol
Jumlah
1
DKI JAKARTA
2.781
280
280
560
2
JAWA BARAT
2.888
197
197
394
3
JAWA TIMUR
2.591
211
211
422
4
BALI
1.177
56
56
112
5
NTB
80
25
25
50
6
NTT
110
25
25
50
7
PAPUA
2.382
225
225
450
 
Total
 
1.019
1.019
2.038

Prosedur Pemilihan Sampel

Unit sampel (sampling unit) yang menjadi unit observasi dalam kegiatan penelitian ini secara keseluruhan mencakup tiga jenis, yaitu:
  1. Rumah tangga dengan ODHA atau rumah tangga target
  2. Rumah tangga Non-ODHA atau rumah tangga kontrol
  3. Anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV
Rumah tangga dengan ODHA atau selanjutnya sering disebut dengan Ruta ODHA dalam studi ini merupakan unit observasi utama atau target yang akan diteliti perilaku sosial ekonominya khususnya yang berkaitan dengan status HIV yang disandang oleh anggota rumah tangganya. Sejalan dengan itu, Ruta ODHA dalam konteks ini disebut juga sebagai rumah tangga target. Rumah tangga Non-ODHA yang selanjutnya sering disebut sebagai Ruta Non-ODHA merupakan unit observasi berikutnya pada studi ini yang juga akan diteliti perilaku sosial ekonominya untuk dibandingkan dengan  Ruta ODHA. Sejalan dengan fungsinya, Ruta Non-ODHA disebut juga sebagai rumah tangga kontrol.
Unit observasi ketiga dalam studi ini adalah individu yang terinfeksi HIV atau ODHA yang akan diteliti perilaku sosial ekonominya khususnya yang berkaitan dengan infeksi HIV yang dideritanya. Selain itu, juga akan diteliti perlakuan-perlakuan yang tidak normatif, baik yang dilakukan masyarakat atau bahkan dari keluarganya sendiri, yang terpaksa harus diterima oleh ODHA. Perlakuan tidak normatif tersebut antara lain berupa tindakan diskriminatif, stigma, perlakuan tidak senonoh dan pengucilan/ pengisolasian.
Rumah tangga sampel terpilih, baik Ruta ODHA maupun Ruta Non-ODHA pada pelaksanaan survei SDGK09 akan didatangi petugas lapangan untuk dicacah dengan kuesioner SDGK09-K. Sedangkan keseluruhan ODHA yang terpilih sampel akan dicacah dengan Daftar SDGK09-M dan pada tahap berikutnya sebagian dari mereka akan dipilih menjadi responden penelitian kualitatif.
Pemilihan sampel ODHA, rumah tangga ODHA dan rumah tangga Non-ODHA dilakukan secara serentak, namun prosedur dan cara pemilihan sampelnya dilakukan masing-masing secara independen. Pemilihan sampel ODHA untuk dijadikan responden studi mendalam dilakukan tersendiri oleh petugas penelitian kualitatif.
 

   iii.            Hasil

Karakteristik Responden Rumah Tangga

Secara umum ada 996 rumah tangga ODHA dan 996 rumah tangga Non-ODHA yang menjadi responden penelitian ini. Sedangkan jumlah responden ODHA adalah 1,106 orang. Analisis karakteristik rumah tangga pada bagian ini dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan rumah tangga dan pendekatan individu. Pendekatan rumah tangga dilakukan dengan cara meneliti variabel-variabel yang dapat menunjukkan ciri-ciri rumah tangga, antara lain: struktur rumah tangga, pendapatan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga dan jumlah kematian. Pendekatan individu dilakukan dengan meneliti variabel-variabel yang menjelaskan tentang karakteristik individual termasuk kepala rumah tangga, antara lain umur, jenis kelamin dan status perkawinan, pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.
Tabel 2 Persentase Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Pekerjaan dan Pendidikan Kepala Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Rumah Tangga
 
Ruta ODHA
Ruta Non-ODHA
Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga
 
 
Laki-Laki
75
85
Perempuan
25
15
Kelompok Umur
 
 
15-19
0
1
20-24
5
6
25-49
61
66
50+
34
27
Status Perkawinan
 
 
Belum Kawin
16
13
Kawin
59
73
Cerai mati
18
9
Cerai hidup
8
5
Bidang Pekerjaan
 
 
Jasa Pendidikan/Kesehatan/Kemasyarakatan
22
20
Perdagangan
16
18
Transportasi/Komunikasi
8
9
Jasa perorangan yg melayani ruta
9
8
Admin/Pemerintahan
5
10
Lainnya
13
17
Tidak Bekerja
27
16
 Perbedaan struktur rumah tangga Ruta ODHA dan Non-ODHA tidak terlihat dari pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga. Secara umum pendidikan kepala rumah tangga di Ruta ODHA relatif sama dengan Ruta Non-ODHA. Persentase kepala rumah tangga yang berpendidikan SLTA atau jenjang di atasnya pada Ruta ODHA mencapai sebesar 59 persen, sedangkan persentase tersebut untuk Ruta Non-ODHA nampak sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 61 persen.
Walaupun pemilihan rumah tangga kontrol (Ruta Non-ODHA) sudah diupayakan sedemikian rupa agar memiliki kemiripan karakteristik tetapi pada akhirnya persentase kepala rumah tangga yang tidak bekerja pada Ruta ODHA (27 persen) lebih tinggi dibanding dengan Ruta Non-ODHA (16 persen). Sebaliknya, persentase kepala Ruta ODHA yang bekerja di sektor administrasi/Pemerintahan (5 persen) hanya setengah dari kepala rumah tangga Ruta Non-ODHA.
Separuh lebih dari 1,106 ODHA yang masih hidup dan menjadi responden dalam survei ini, termasuk pada kelompok Penasun yang mencapai 58 persen. Berdasarkan Surveilans Terpadu Biologis Perilaku (STBP) 2007 Penasun merupakan kelompok berisiko yang memiliki prevalensi HIV paling tinggi.  Kelompok kedua terbanyak adalah responden yang dikategorikan sebagai kelompok penularan dari suami/istri (18 persen). 
Walaupun tidak sampai seperlima dari semua kasus yang ditemukan, ini merupakan indikasi penularan telah terjadi dalam rumah tangga. Konsekuensi dalam upaya pencegahan HIV adalah diperlukan edukasi tentang HIV dan AIDS di tengah masyarakat yang lebih luas sebagai langkah preventif untuk antisipasi penularan ibu kepada bayinya.
Sebagian besar responden ODHA laki-laki termasuk kedalam kelompok Penasun sedangkan sebagian besar responden ODHA perempuan dikategorikan sebagai kelompok penularan dari suami/istri. Sedangkan responden yang mewakili kelompok Waria dan LSL jumlahnya cukup kecil, oleh karena itu analisa hasil penelitian ini tidak dapat dilakukan menurut kelompok HIV.
Seperti perkiraan banyak pihak, kebanyakan responden ODHA rata-rata berada pada usia produktif yaitu 25-49 tahun. Secara keseluruhan persentase responden ODHA laki-laki (70 persen) jauh lebih banyak dibandingkan responden ODHA perempuan (30 persen). Persentase responden ODHA laki-laki pada kelompok umur 25-49 tahun (85 persen) juga lebih tinggi dari responden ODHA perempuan (73 persen).  Sedangkan pada kelompok umur yang lebih muda (0-14; 15-19 dan 20-24 tahun) persentase ODHA perempuan lebih tinggi antara 4 – 5 persen, sehingga rerata umur responden ODHA perempuan (28 tahun) 2 tahun lebih muda dari laki-laki (30 Tahun)
Distribusi kelompok umur responden ODHA tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang terinfeksi HIV pada usia lebih muda dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini bisa saja terjadi karena perempuan pada usia yang lebih dini sudah terpapar HIV dari pasangannya yang berusia lebih dewasa. Pada bagian berikutnya, kita akan melihat perbedaan kemungkinan sumber paparan HIV pada responden laki-laki dan perempuan.
Sama seperti struktur tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh orang dewasa di Indonesia pada umumnya, sebagian besar (68 persen) responden ODHA berusia 18 tahun keatas juga tamat SLTA atau sederajat. Sedangkan prosentase responden ODHA yang tidak tamat SLTP masih cukup banyak yaitu 14 persen. Berdasarkan status perkawinannya, hampir 90 persen ODHA perempuan pernah menikah, dan hanya 50 persen ODHA laki-laki yang pernah menikah. Hal ini merupakan indikator bahwa perempuan cenderung menikah pada usia lebih muda dibandingkan dengan laki-laki.
Temuan yang menonjol dari status perkawinan responden adalah status perceraiannya. Sebanyak 37% responden ODHA perempuan telah bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan responden ODHA laki-laki yang hanya 16%. Sebaliknya persentase responden ODHA laki-laki yang belum kawin (49 persen) jauh lebih tingi bila dibandingkan dengan responden ODHA perempuan (13 persen).
Data menunjukkan bahwa sebanyak 75% ODHA laki-laki memiliki pekerjaan pada saat disurvei. Umumnya bekerja sebagai buruh/karyawan sebanyak 41%, usaha sendiri 27%, dan bekerja sebagai pekerja lepas sebanyak 7%. Sedangkan untuk ODHA perempuan, hanya setengah dari responden yang memiliki pekerjaan pada saat disurvei. Sebanyak 19% memiliki usaha sendiri, 27% persen bekerja sebagai buruh/karyawan, dan 6 % bekerja sebagai pekerja lepas. 
Persentase reponden ODHA perempuan usia 18 tahun keatas yang tidak berkerja hampir 2 kali lipat dari responden ODHA laki-laki. Situasi ini sebenarnya umum terjadi di Indonesia dimana peran perempuan lebih banyak sebagai pengurus rumah tangga dibanding pencari nafkah utama.
Tahun konfirmasi adalah tahun ketika seorang ODHA didiagnosa terinfeksi HIV.
Kecenderungan tahun konfirmasi HIV responden ODHA laki-laki maupun perempuan relatif sama dengan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dan dicatat oleh Kementerian Kesehatan. Situasi ini juga sejalan dengan ekspansi tempat layanan konseling dan testing HIV sukarela sejak 7 – 8 tahun yang lalu.  
Sedangkan jika dilihat perbandingan waktu konfirmasi HIV, persentase responden ODHA laki-laki yang sudah mengetahui status HIV nya lebih dari 5 tahun yang lalu (14 persen) 2 kali lebih banyak dibanding ODHA perempuan. Sebaliknya responden ODHA perempuan yang baru mengetahui status HIV nya dalam 1 tahun terakhir jauh lebih tinggi dari ODHA laki-laki. Situasi ini dapat diartikan  bahwa infeksi HIV 5 tahun yang lalu lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan latar belakang Penasun dan kemudian baru diikuti oleh penularan HIV melalui hubungan seks sehingga perempuan yang terinfeksi HIV meningkat jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir.
Pendidikan berkorelasi positif dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin berkualitas hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya. Tabel 3 diatas menggambarkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan signifikan pada persentase tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh responden usia 18 tahun keatas dari rumah tangga ODHA dan Non-ODHA. Bahkan persentase responden ODHA yang tamat SLTA lebih tinggi dari Non-ODHA di rumah tangga ODHA maupun non-ODHA.
Tabel 3 Persentase Tingkat Pendidikan Tertinggi Responden Usia 18 Tahun Keatas Menurut Status HIV dan Klasifikasi Rumah Tangga
Pendidikan Tertinggi
Ruta ODHA
Ruta
Non-ODHA
ODHA
Non-ODHA
Total
Tidak Tamat SD
4
6
5
5
SD
10
18
15
15
SLTP
18
17
17
18
SLTA
54
46
49
47
Universitas
14
14
14
16
Gambaran tingkat pendidikan responden penelitian ini, secara umum juga relatif sama dengan situasi pencapaian pendidikan tertinggi di masyarakat umum, dimana persentase pendidikan tertinggi yang pernah ditamatkan terbesar adalah  tingkat SLTA atau sederajat.
HIV dan AIDS memiliki dampak besar pada pendidikan anak-anak dengan mempengaruhi akses dan kualitas pendidikan. Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin anak-anak usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu membayar biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau pengeluaran kesehatan meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk menambah pendapatan keluarga. Anak yang lahir dari orang tua dengan HIV-positif atau anak-anak terinfeksi HIV mungkin akan ditolak untuk akses ke sekolah karena rasa takut dan stigma.
Pengelompokan umur dalam pembahasan ini dibatasi pada 3 kelompok umur yaitu umur 6-12 tahun yang mencerminkan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), umur 13-15 tahun mencerminkan tingkat pendidikan SLTP dan umur 16-18 tahun pada SLTA.
Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan partisipasi sekolah di tingkat pendidikan dasar (usia 6-12 tahun) antara anggota rumah tangga dari rumah tangga ODHA dan Non-ODHA. Perbedaan tingkat partisipasi mulai terlihat pada jenjang pendidikan diatasnya yang merupakan kelompok usia tingkat pendidikan SLTP (13-15 tahun), dimana secara umum persentasenya jauh lebih rendah dari kelompok sebelumnya dan persentase pada rumah tangga ODHA lebih rendah dari rumah tangga Non-ODHA. Jurang perbedaan persentase partisipasi sekolah antara rumah tangga ODHA dan Non-ODHA semakin lebar sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 dimana persentase perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga ODHA dan Non-ODHA pada tingkat SLTP adalah 10 persen meningkat menjadi 19 persen pada tingkat SLTA dan 50 persen pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari pada keluarga ODHA. 
Tabel 4 Persentase Responden Yang Masih Sekolah Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Klasifikasi Rumah Tangga
 
Kelompok Umur
Ruta ODHA
Ruta Non ODHA
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
0-5 Thn
23
32
29
26
39
31
6-12 Thn
91
91
91
89
93
91
13-15 Thn
92
84
87
93
99
96
16-18 Thn
57
59
58
76
63
69
19-24 Thn
12
12
12
28
20
24
25+ Tahun
1
1
1
1
1
1
Total
15
17
16
23
21
22
 Data yang ditemukan mengenai indikasi dampak HIV dan AIDS terhadap tingkat partisipasi sekolah anak usia sekolah pada penelitian ini cukup mengkhawatirkan. Anak usia sekolah dari rumah tangga ODHA cenderung memiliki kesempatan lebih sedikit untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi dari rumah tangga Non-ODHA. Hal ini bisa saja terjadi sebagai akibat dari besarnya biaya kebutuhan hidup lainnya yang lebih mendasar seperti kesehatan pada rumah tangga ODHA ataupun juga karena sebagian dari mereka sudah terinfeksi HIV.
Gambar 5 dibawah menunjukkan bahwa persentase responden ODHA berusia 5-18 tahun yang masih sekolah jauh lebih kecil (53 persen) jika dibandingkan dengan responden Non-ODHA dirumah tangga ODHA (78 persen) dan Non-ODHA (82 persen). Sebaliknya persentase responden ODHA usia 5-18 tahun yang belum pernah sekolah dan tidak sekolah lagi lebih tinggi hingga 3 kali lipat lebih dari reponden Non-ODHA di rumah tangga ODHA dan Non-ODHA. Hal ini sudah diprediksi, karena seperti data yang terlihat sebelumnya, rumah tangga ODHA yang miskin cenderung lebih miskin daripada rumah tangga Non-ODHA dan alokasi yang dikeluarkan untuk pendidikan juga lebih kecil.
Angka Putus Sekolah
Beberapa survei yang berkaitan dengan dampak HIV terhadap pendidikan anak menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara rumah tangga ODHA dengan jumlah anak putus sekolah. Dimana jumlah anak putus sekolah dalam rumah tangga ODHA cenderung lebih banyak dibandingkan pada rumah tangga Non-ODHA. Pada rumah tangga ODHA, kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar daripada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak perempuan diwajibkan untuk bisa mengurus rumah tangga dan merawat anggota keluarga yang sakit, sehingga pendidikannya dikorbankan.
Berdasarkan hasil studi ini, ada 69 anak usia 5-17 tahun yang terpaksa harus berhenti bersekolah yang terdiri atas 38 dari 520 anak di rumah tangga ODHA atau sekitar 7 persen, dan 31 dari 656 anak di ruta non ODHA atau 5 persen. Ada berbagai macam alasan yang membuat anak harus putus sekolah antara lain adalah pendidikan dirasakan cukup, tidak punya biaya, malu, membantu orang tua dan lain sebagainya.
Tabel 5 Jumlah Responden Yang Sering Bolos Menurut Alasannya, Jenis Kelamin dan Klasifikasi Rumah Tangga


 
Ruta ODHA
Ruta Non ODHA
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Pendidikan dirasakan cukup
1
0
1
3
0
3
Tidak punya biaya
7
12
19
8
7
15
Malu
0
2
2
0
0
0
Membantu orang tua
1
1
2
1
2
3
Lainnya
4
10
14
5
5
10
Total
13
25
38
17
14
31
 
Menurut alasan berhenti sekolah, baik pada rumah tangga ODHA maupun rumah tangga Non-ODHA alasan yang paling banyak diungkapkan responden adalah faktor ekonomi yaitu karena tidak punya biaya. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung ditambah dengan pengeluaran kesehatan anggota rumah tangga yang terinrfeksi HIV membuat anak usia sekolah terpaksa harus berhenti. Pada rumah tangga ODHA, 19 dari 38 anak menjawab demikian.
 

Tingkat Kehadiran

Selain berdampak pada tingginya angka putus sekolah, HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah. Persentase anak yang sering bolos sekolah dari anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah tangga ODHA jauh lebih tinggi (17 persen) dibanding rumah tangga Non-ODHA (7 persen).
Pengalaman pernah tidak naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga ODHA (16 persen) juga lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-ODHA. Hal ini bisa saja berkaitan dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga ODHA. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah dari rumah tangga ODHA (16 persen) lebih dari 2 kali lipat rumah tangga Non-ODHA (7 persen).
Alasan yang paling banyak diungkapkan oleh 135 responden yang sering bolos sekolah adalah karena malas (58 persen) dimana proporsi responden dari rumah tangga Non-ODHA yang menyatakan alasan tersebut jauh lebih besar (70 persen) dibanding responden dari rumah tangga ODHA (51 persen). Alasan lainnya yang diungkapkan adalah karena bekerja (sekitar 4 persen) dan merawat orang sakit (2 persen).
Tabel 6 Persentase Responden Yang Masih Sekolah dan Sering Bolos, Pernah Tidak Naik Kelas dan Pindah Sekolah Menurut Jenis Kelamin dan Klasifikasi Rumah Tangga


 
Ruta ODHA
Ruta Non ODHA
Laki-Laki
Perempuan
Total
Laki-Laki
Perempuan
Total
Sering Bolos
17
18
17
8
6
7
Pernah Tidak Naik Kelas
17
14
16
10
10
10
Pernah Pindah Sekolah
17
16
16
8
6
7
 
Sedangkan alasan pindah sekolah yang paling sering diungkapkan oleh rumah tangga Non-ODHA adalah karena pindah tempat tinggal (72 persen) dan mencari sekolah yang lebih sesuai baik lokasi maupun situasinya (23 persen). Distribusi alasan pindah sekolah anggota rumah tangga ODHA sangat berbeda dengan rumah tangga ODHA, walaupun alasan pindah sekolah karena pindah tempat tinggal (33 persen) juga yang paling sering diungkapkan tetapi alasan lainnya yang cukup banyak adalah karena malu (21 persen), jauh lebih tinggi dari rumah tangga Non-ODHA  yang hanya 3 persen. Kategori alasan malu dalam survei ini adalah malu karena keluarga/dirinya terinfeksi HIV atau karena tidak naik kelas, dimana seperti dipaparkan pada tabel sebelumnya persentase anggota rumah tangga ODHA yang tidak naik kelas juga jauh lebih tinggi dari anggota rumah tangga Non-ODHA.
Gambar 6 Persentase Alasan Pindah Sekolah Dari Responden Yang Masih Sekolah  Menurut  Klasifikasi Rumah Tangga

Status Sekolah dan Biaya Pendidikan

Sebagian besar anak-anak dari kedua kelompok rumah tangga saat ini bersekolah di sarana pendidikan milik pemerintah. Walaupun demikian, persentase anak dari rumah tangga ODHA (31 persen) yang sekolah di sarana pendidikan swasta lebih tinggi dibanding anak dari rumah tangga Non-ODHA (25 persen). Hal ini cukup menarik karena pada umumnya biaya pendidikan di sarana pendidikan swasta lebih tinggi dari sarana pendidikan pemerindan tingkat kemampuan ekonomi rumah tangga ODHA lebih rendah dari rumah tangga Non-ODHA.
Sebagian besar rumah tangga mampu membiayai pendidikan anaknya saat ini dan persentase rumah tangga ODHA yang mampu membiayai pendidikan anaknya (80 persen) sedikit lebih rendah dari rumah tangga Non-ODHA (84 persen). Sedangkan persentase rumah tangga yang mampu membiayai anaknya hingga tingkat pendidikan yang dianggap mudah mendapatkan pekerjaan secara umum sedikit lebih rendah dari persentase rumah tangga yang mampu membiayai pendidikan saat ini.
Tabel 7 Persentase Rumah Tangga Menurut Kemampuan, Pembiayaan dan Jenjang Pendidikan Ideal Serta Klasifikasi Rumah Tangga


 
Ruta ODHA
Ruta Non ODHA
Mampu membiayai pendidikan saat ini
80
84
Mampu membiayai sampai jenjang pendidikan yang harapkan
78
81
Pendidikan anak didukung oleh pihak lain dalam 1 tahun terakhir
26
23
Bentuk Dukungan (% dari yang menerima dukungan pihak lain)
Biaya Pendidikan
46
56
Uang
43
34
Lainnya
11
9
Pemberi Dukungan Utama (% dari yang menerima dukungan pihak lain)
Keluarga
56
38
Pemerintah
37
55
Lainnya
3
4
Jenjang Pendidikan Ideal

 

 
SLTA
45
40
Akademi
7
9
S1
44
46
S2
4
6
 
Jenjang Pendidikan ideal yang paling banyak diungkapkan oleh kepala rumah tangga ODHA adalah SLTA (45 persen) sedangkan dari kepala rumah tangga Non-ODHA adalah Strata 1/sarjana (46 persen). Perbedaan persepsi kepala rumah tangga  tentang jenjang pendidikan ideal bagi anaknya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya pribadi dan kemampuan ekonomi rumah tangga saat ini.
Sebanyak 26 persen rumah tangga ODHA dan 23 persen rumah tangga Non-ODHA mengaku menerima dukungan dari pihak lain dalam 1 tahun terakhir untuk pendidikan anaknya. Sebagian besar rumah tangga ODHA (56 persen) yang menerima bantuan untuk pendidikan, mengaku  menerimanya dari pihak keluarga, sedangkan sebagian besar rumah tangga Non-ODHA (55 persen) menerima bantuan pendidikan dari pemerintah. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan persentase anggota rumah tangga ODHA yang sekolah di sarana pendidikan swasta karena jika dilihat dari kemampuan ekonomi jelas sekali lebih banyak rumah tangga ODHA yang memerlukan bantuan untuk pendidikan anak dari pemerintah, tetapi kenyataannya lebih banyak rumah tangga Non-ODHA yang menerimanya.
Bentuk bantuan yang paling banyak diterima berupa biaya pendidikan, diikuti oleh bantuan berbentuk uang dan bantuan lainnya termasuk peralatan sekolah. Persentase rumah tangga ODHA yang menerima bantuan pendidikan berupa uang sebanyak 43 persen, lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-ODHA (34 persen). Bentuk bantuan tentunya sangat berkaitan dengan sumber bantuan, dan karena rumah tangga ODHA lebih banyak menerima bantuan dari keluarga daripada dari pemerintah maka wajar saja jika persentase yang menerima bantuan berupa uang juga lebih tinggi.
Sedangkan rerata pengeluaran total rumah tangga untuk pendidikan anak secara umum relatif kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk komponen lainnya, bahkan merupakan komponen pengeluaran yang paling kecil dan kurang dari setengah pengeluaran rumah tanggga untuk rokok. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan anak kurang menjadi prioritas bagi rumah tangga yang menjadi responden penelitian ini dan hampir sama dengan gambaran struktur pengeluaran masyarakat Indonesia pada umumnya.
Perbandingan rerata pengeluaran untuk pendidikan menunjukan bahwa pengeluaran pendidikan rumah tangga ODHA (Rp. 52,251) jauh lebih kecil dari rumah tangga Non-ODHA (Rp. 82,253) walaupun rerata total pengeluaran rumah tangga ODHA jauh lebih besar dari rumah tangga Non-ODHA. Gambaran tersebut menunjukan bahwa pengeluaran pendidikan lebih menjadi tidak prioritas pada rumah tangga ODHA.
Gambar 7 Rerata dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan  Menurut  Klasifikasi Rumah Tangga

Stigma dan Diskriminasi di Lingkungan Tempat Tinggal Dan Sekolah

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, vonis yang mengatakan telah terjadi diskriminasi terhadap ODHA harus ditempatkan secara proporsional agar tidak bias dalam mempersoalkannya. Ketika membahas diskriminasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal misalnya, maka hal pertama yang perlu dipastikan adalah apakah para tetangga tahu mengenai status ODHA pada ART dari rumah tangga target. Hasil survei yang dilakukan terhadap 996 rumah tangga ODHA  di 7 provinsi wilayah penelitian mengungkapkan bahwa hanya 163 rumah tangga (16 persen) yang memastikan bahwa para tetangganya tahu mengenai keberadaan ODHA di dalam rumah tangganya. Ketika ditanyakan kembali kepada 163 rumah tangga tersebut apakah pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari para tetangga, Sebagian besar rumah tangga di seluruh wilayah penelitian menyatakan tidak pernah menerima perlakuan diskriminasi, hanya 58 rumah tangga atau 36 persen di antaranya yang menyatakan pernah menerima perlakuan diskriminasi dari tetangga tempat tinggal mereka.
Dari 58 rumah tangga yang mengalami diskriminasi tersebut, jenis diskriminasi yang paling banyak dialami rumah tangga di lingkungan tempat tinggalnya adalah, dihindari para tetangga (34 rumah tangga). Diskriminasi terbanyak kedua adalah kekerasan verbal (31 rumah tangga), kemudian rumah tangga HIV tidak diijinkan bermain dengan anak tetangganya (22 rumah tangga). Selain itu, sebanyak 15 rumah tangga mengaku para tetangganya tidak lagi mau meminjamkan apapun kepada mereka. Sebanyak 7 rumah tangga pernah mendapatkan kekerasan fisik. Bagi rumah tangga ODHA yang memiliki usaha warung, 12 di antaranya mengaku jumlah pembelinya semakin berkurang. Profil lengkap jenis perlakuan diskriminasi yang terjadi di lingkungan tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Persentase Rumah Tangga ODHA Yang Mendapat Perlakuan Diskriminasi Di Lingkungan Tempat Tinggal Menurut Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga
Jenis Diskriminasi dari Tetangga
Laki-Laki
Perempuan
Total
Dihindari
18
28
21
Kekerasan verbal
19
20
19
Tidak diijinkan bermain bersama
11
20
14
Tidak lagi meminjamkan apapun
8
12
9
Tidak mau berteman
7
12
9
Tidak diterima lingkungan
6
12
8
Diboikot secara sosial
6
10
7
Jumlah pembeli berkurang
6
10
7
Kekerasan fisik
4
4
4
Dihalangi menggunakan sumur umum
3
4
3
 
Dalam kuesioner SDGK09-M, beberapa kemungkinan perlakuan diskriminatif yang terjadi di lingkungan sekolah juga sudah ditampung. Berkaitan dengan hal tersebut, dari 996 rumah tangga yang menjadi sampel penelitian, hanya terdapat 316 rumah tangga ODHA yang memiliki anggota rumah tangga masih sekolah. Dari angka tersebut, hanya 5 rumah tangga yang menyatakan bahwa pihak sekolah mengetahui bahwa di rumah tangganya ada anggota rumah tangga dengan status ODHA. Namun, dari 5 rumah tangga tadi, hanya ada 1 rumah tangga yang mengaku ada diskriminasi dari pihak sekolah, yaitu guru membatasi tanya jawab dengan anggota rumah tangga HIV yang bersekolah tersebut.

   iv.   Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan langsung dari 996 rumah tangga ODHA dan 996 rumah tangga Non-ODHA sebagai pembanding, yang tersebar di 13 kota dalam 7 provinsi dengan tingkat prevalensi HIV berbeda untuk mengetahui dampak HIV dan AIDS pada rumah tangga. Hasil penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa walaupun secara makro dampak epidemi HIV belum terlalu besar tetapi pada tingkat rumah tangga sudah sangat memprihatinkan
Penelitian ini menemukan dampak HIV pada pendidikan anak-anak dan masalah stigma sosial juga di dapati sebagai masalah serius yang perlu segera ditindaklanjuti karena menyebabkan sebagian besar ODHA tidak membuka status HIV-nya pada lingkungan sekitarnya bahkan pada keluarga dan pasangan hidupnya sehingga mereka tidak mendapatkan layanan dan bantuan yang seharusnya. Penyebab utama stigma dan diskriminasi adalah rendahnya pengetahuan komprehensif  tentang HIV.
Infeksi HIV lebih banyak terjadi pada responden laki-laki usia produktif, sehingga menyebabkan mereka menjadi kurang atau tidak produktif lagi dan perubahan sebagian struktur rumah tangga ODHA. Dampaknya yang dapat dilihat dari penelitian ini adalah lebih tingginya proporsi anak yang bekerja dan putus sekolah serta perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama. Sebagian besar perempuan ODHA yang terinfeksi pernah atau sedang menikah memiliki pasangan suami yang terlebih dahulu terinfeksi. Ini menunjukkan bahwa eksistensi penularan HIV dari pasangan intim sudah tampak di Indonesia. Perempuan mengalami dua dampak sebagai korban yang terinfeksi karena relasi dengan pasangan intim dan dampak lanjut sebagai dalam rumah tangga ODHA karena harus menjadi penyokong utama dalam keluarga ODHA tersebut. 
Terkait dengan pendidikan anak, sangat jelas terlihat dari hasil penelitian ini bahwa pengeluaran rumah tangga ODHA untuk biaya pendidikan anak jauh lebih kecil dibandingkan rumah tangga Non-ODHA. Secara nominal, rerata pengeluaran biaya pendidikan per kapita per bulan rumah tangga ODHA hanya 43 persen dari rumah tangga Non-ODHA. Sedangkan dari proporsi pengeluaran keseluruhan per bulan, rumah tangga ODHA hanya mengalokasikan 1/3 dari alokasi biaya pendidikan di rumah tangga Non-ODHA. Hasil penelitian ini juga menemukan hampir 50 persen ODHA usia sekolah yang tidak bersekolah dan hanya seperempat rumah tangga ODHA yang menerima bantuan untuk pendidikan anaknya.

Rekomendasi

Temuan dari penelitian ini membutuhkan tindak lanjut yang perlu segera dilakukan untuk mengurangi dampak HIV dan AIDS. Respon yang terhadap temuan penelitian ini idealnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-dimensi mengingat beragamnya isu dan komplikasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti adalah sebagai berikut:
- Upaya mitigasi dampak HIV dan AIDS harus menjadi bagian yang terintegrasi dari dari strategi penanggulangan AIDS di semua tingkat pemerintahan dan mendapatkan alokasi pendanaan yang memadai. Peran sentral Komisi Penanggulangan AIDS disemua tingkat pemerintahan untuk merespon rekomendasi ini melalui fungsi advokasi dan koordinasi yang dimilikinya akan menjadi salah satu kunci keberhasilan.
- Banyaknya anak usia sekolah dari rumah tangga ODHA maupun anak dengan HIV yang tidak sekolah lagi perlu mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian Pendidikan Nasional. Rencana kerja yang terintegrasi untuk memberikan kesempatan bagi anak dari rumah tangga ODHA untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi juga dapat membantu pengendalian HIV dan AIDS dimasa depan.


[1] Country report on the follow up to the declaration of Commitment on HIV/AIDS (UNGASS), 2006-2007, National AIDS Commission, Republic of Indonesoa, p-9.
[2] Laporan Estimasi Populasi Dewasa Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2009. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2009
[3] Integrated Bio-Behavioral Surveilance Survey Among Most at Risk Population in Indonesia 2007, MoH, BPS, USAID and FHI-ASA
[4] Redefining AIDS in Asia, Report of the Commission on AIDS in AIDS, Oxford, 2006.

Leave a Reply