Setelah cukup lama tidak berbicara tentang HIV, maka hari ini sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban moral kepada responden, akhirnya saya dapat mempresentasikan sebagian kecil hasil penelitian dampak sosial ekonomi HIV pada rumah tangga dan individu...
Sayangnya para pejabat yang menjadi sasaran utama tidak hadir di Child Povertyand Social Protection Conference (Hotel Sahid 10-11 September 2013)... Mudah-mudahan ada yg menyampaikan ketelinga mereka.
Sayangnya para pejabat yang menjadi sasaran utama tidak hadir di Child Povertyand Social Protection Conference (Hotel Sahid 10-11 September 2013)... Mudah-mudahan ada yg menyampaikan ketelinga mereka.
Dampak HIV Pada Pendidikan Anak di Indonesia
i.
Latar Belakang
HIV
dan AIDS sudah menjadi masalah yang serius untuk negara-negara berkembang
maupun negara maju dalam beberapa tahun terakhir. Sejak awal dekade 20-an,
penduduk yang terinfeksi virus HIV di Indonesia jumlahnya terus bertambah
secara signifikan. Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang
disampaikan dalam sidang umum PBB tentang AIDS (UNGASS) 2006-2007 antara lain
menyebutkan bahwa pada saat sekarang ini negara Indonesia telah menjadi salah
satu negara dengan laju pertumbuhan epidemi HIV paling cepat di Asia[1].
Namun dibanding dengan negara-negara di Asia pada umumnya, persentase orang
dengan HIV di Indonesia pada tahun 2009 masih tergolong rendah yaitu sekitar
0,15 persen. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 186.000 penduduk dewasa Indonesia
hidup dengan HIV[2].
Penyebaran
dan penularan HIV di Indonesia secara cepat pada umumnya terjadi pada populasi
Pengguna Napza Suntik (Penasun). Di lain pihak, peningkatan prevalensi HIV
secara signifikan juga terjadi akibat penularan melalui hubungan seksual yang
dilakukan oleh Pekerja Seks (PS) dan Penasun[3].
Interaksi kelompok PS dan Penasun dalam penyebaran dan penularan HIV memberikan
kontribusi besar terjadinya gelombang epidemi baru yang akan menjadi pemicu
utama meningkatnya epidemi HIV pada masa-masa yang akan datang.
Peningkatan
prevalensi HIV pada level makro atau secara nasional belum menimbulkan dampak
sosial-ekonomi yang cukup berarti. Dampak tersebut secara signifikan hanya
dapat dirasakan pada level mikro, antara lain pada level rumah tangga,
khususnya rumah tangga yang salah satu atau beberapa orang anggotanya
terinfeksi HIV[4]. Orang yang hidup dengan HIV (ODHA)
serta rumah tangganya cenderung dibebani berbagai masalah antara lain menderita
berbagai penyakit kronis, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, peningkatan
pengeluaran untuk kesehatan, menipisnya tabungan atau aset lainnya, tekanan
psikologis, diskriminasi dan pembatasan sosial. Dampak sosial bagi orang yang
hidup dengan HIV juga bisa terjadi karena sikap/perlakuan anggota rumah
tangganya.
Laporan
dari Independent Commission of AIDS di Asia4
juga menggaris-bawahi pentingnya kesadaran untuk mengakui beratnya beban sosial
ekonomi yang harus ditanggung oleh rumah tangga dan anak-anak akibat epidemi
HIV dan merumuskan cara mengatasinya. Diperkirakan biaya ekonomi selama setahun
untuk AIDS pada seluruh rumah tangga di Asia adalah sekitar US $ 2 milyar.
Setiap kematian akibat AIDS mengakibatkan kerugian paling sedikit US $ 5,000
atau setara dengan 14 tahun hidup produktif yang dihitung dengan modus sebesar
US $ 1 per hari. Pengeluaran kesehatan tersebut akan mendorong rumah tangga
miskin menjadi semakin miskin. Dengan level infeksi yang sama, pada tahun 2015
mendatang, diperkirakan AIDS akan menambahkan sebanyak enam juta orang di bawah
garis kemiskinan di Asia.
Pentingnya
pendidikan sebagai dasar utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya
kebutuhan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di
dalam pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat
sebagai ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler
Tania and Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica,
2000). Namun, fakta menunjukkan hal yang
menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi HIV, banyak ODHA
terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya karena HIV
dan AIDS. Secara global , HIV dan AIDS
dipandang sebagai tantangan yang sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih
merupakan salah satu faktor penghambat pencapaian MDG untuk pendidikan bagi
semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden Jan and Sheldon Shaeffer,
2004).
HIV dan AIDS
memberikan dampak negatif terhadap akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan
oleh seorang anak. Sering kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk
mangkir dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk
ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak
sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan pengobatan dan perawatan
anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas, selain anak tidak bisa
berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang dia alami, sering
juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya stigma di
masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Sejalan
dengan meningkatnya prevalensi HIV di Indonesia, dampak sosial ekonomi termasuk
pendidikan untuk anak akibat infeksi HIV mulai dirasakan oleh ODHA dan keluarganya.
Indikasi ini antara lain terlihat dari terjadinya kasus-kasus perlakuan
diskriminatif terhadap ODHA maupun keluarganya di beberapa wilayah di
Indonesia. Kasus-kasus perlakuan diskriminasi pada ODHA maupun rumah tangganya
merupakan indikasi adanya dampak sosial ekonomi yang harus diderita oleh ODHA
maupun keluarganya termasuk anak-anak. Pertanyaan penting yang muncul di sini
adalah apakah dampak tersebut secara makro dirasakan oleh setiap ODHA maupun
rumah tangganya di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, data/informasi dan
analisis yang menyajikan gambaran secara rinci tentang dampak sosial ekonomi
infeksi HIV baik bagi ODHA maupun rumah tangganya di Indonesia masih belum
tersedia. Padahal data tersebut sangat dibutuhkan untuk perencanaan dan
perumusan berbagai program penanggulangan dampak sosial ekonomi dari infeksi
HIV.
Pada
sisi lain, laporan KPAN juga mengungkapkan bahwa salah satu kendala yang
menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia selama ini adalah
keterbatasan data dan hasil analisis mengenai HIV dan AIDS. Ketersediaan data
tersebut mutlak diperlukan dalam rangka mempelajari dan memahami epidemi HIV
dengan lebih baik dan merancang langkah antisipasi. Sejalan dengan itu,
ketersediaan data dan hasil analisis HIV dan AIDS secara lengkap mulai dari
prevalensi, pola penyebaran, kelompok berisiko serta dampaknya, saat ini
merupakan kebutuhan krusial yang harus segera dipenuhi.
Dalam
rangka memenuhi sebagian kebutuhan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS)
bekerja sama dengan UNDP, ILO, UNV dan JOTHI (Jaringan Orang Terinfeksi HIV
Indonesia) menyelenggarakan kegiatan Penelitian Dampak Infeksi HIV Terhadap
Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tahun 2009. Penelitian ini diarahkan untuk
memperoleh gambaran tentang dampak sosial ekonomi HIV pada rumah tangga di
Indonesia dan mengidentifikasi cara penanggulangannya. Penelitian yang serupa
telah dilakukan oleh sejumlah negara di Asia, antara lain India (2006), China
(2007) dan Kamboja (2008).
Kegiatan
Penelitian ini secara keseluruhan dilaksanakan di tujuh provinsi, yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
dan Papua. Dari ke tujuh provinsi terpilih tersebut, provinsi Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur mewakili wilayah yang memiliki prevalensi HIV
rendah, sedangkan lima provinsi lainnya mewakili wilayah yang memiliki
prevalensi tinggi. Kombinasi dari kedua kelompok wilayah tersebut diharapkan
dapat menghasilkan data yang representatif.
ii.
Metodologi
Dalam
upaya memperoleh gambaran mengenai dampak sosial ekonomi infeksi HIV terhadap ODHA
dan rumah tangganya secara lengkap dan komprehensif, maka penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan dua jenis metode, yaitu penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan
survei yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen baku berupa daftar
pertanyaan/kuesioner terstruktur dan buku pedoman pencacahan, sedangkan
penelitian kualitatif dilakukan dengan penelitian mendalam (indepth study) dan Focus Group Discussions (FGD).
Rumah
tangga yang menjadi unit observasi terdiri dari dua kategori, yaitu rumah
tangga ODHA dan rumah tangga Non-ODHA yang berfungsi sebagai rumah tangga
kontrol atau pembanding. Rumah tangga ODHA yang dimaksudkan dalam studi ini
adalah rumah tangga yang minimal mempunyai satu anggota rumah tangga terinfeksi
HIV. Selain rumah tangga, unit observasi dalam studi ini juga mencakup individu
yang terinfeksi HIV.
Penelitian
kualitatif berupa wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus, dilakukan
dalam rangka memperoleh gambaran atau informasi penting yang tidak dapat
diperoleh melalui kegiatan survei. Kegiatan penelitian kualitatif dilakukan
melalui wawancara tidak terstruktur dengan responden ODHA terpilih. Wawancara
tersebut dilakukan secara langsung tanpa menggunakan kuesioner baku seperti
pada kegiatan survei.
Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian
ini yaitu untuk mendapatkan data dan analisis mengenai dampak sosial ekonomi
HIV dan AIDS terhadap rumah tangga ODHA, maka fokus dari penelitian ini adalah
rumah tangga.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini diselenggarakan di tujuh provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua yang meliputi
13 kota untuk penelitian kuantitatif dan 7 kota untuk penelitian kualitatif.
Detail lokasi penelitian tercantum di dalam tabel dibawah. Dari keseluruhan
provinsi terpilih, provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
mewakili wilayah yang memiliki prevalensi HIV rendah, sedangkan lima provinsi
lainnya mewakili wilayah yang memiliki prevalensi tinggi. Kombinasi dari kedua
kelompok wilayah tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang
representatif.
Rancangan Sampel
Hingga
saat ini data yang akurat tentang jumlah dan sebaran orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
masih belum tersedia. Padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan untuk
membentuk kerangka sampel (sampling frame)
yang akan dijadikan dasar pengambilan sampel untuk keperluan survei-survei yang
berbasis pada probability sampling.
Kendala-kendala tersebut mengakibatkan seluruh penelitian mengenai masalah HIV
dan AIDS yang selama ini telah dilakukan di Indonesia masih terbatas pada
penelitian mikro atau studi kasus.
Sedangkan
data ODHA yang dikumpulkan oleh fasilitas kesehatan masih cenderung under estimate, karena tidak semua orang
yang terinfeksi HIV datang berobat ke fasilitas kesehatan. Seperti yang
diungkapkan oleh Aditya (1994), jumlah kasus AIDS yang tercatat selama ini
hanya merupakan puncak dari sebuah gunung es. Secara statistik, data tersebut
tidak valid untuk digunakan sebagai dasar untuk penyusunan kerangka sampel yang
berbasis probability sampling.
Dengan
mempertimbangkan berbagai aspek terutama kendala tidak tersedianya data jumlah
dan sebaran orang yang terinfeksi HIV, rancangan sampel (sampling design) yang digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan SDGK09
ini adalah sampling kuota (quote sampling).
Besarnya kuota jumlah rumah tangga sampel (sampel
size) pada masing-masing provinsi dilakukan secara bebas/independen. Dimana
untuk melihat kelayakannya tetap memperhatikan banyaknya kasus AIDS yang
terjadi di masing-masing provinsi sebagai validator. Alokasi jumlah rumah tangga sampel untuk
masing-masing provinsi secara rinci disajikan pada Tabel
1.
Provinsi
|
Banyaknya
Kasus AIDS
|
Jumlah Rumah
Tangga Sampel
|
|||
RT Target
|
RT Kontrol
|
Jumlah
|
|||
1
|
DKI JAKARTA
|
2.781
|
280
|
280
|
560
|
2
|
JAWA BARAT
|
2.888
|
197
|
197
|
394
|
3
|
JAWA TIMUR
|
2.591
|
211
|
211
|
422
|
4
|
BALI
|
1.177
|
56
|
56
|
112
|
5
|
NTB
|
80
|
25
|
25
|
50
|
6
|
NTT
|
110
|
25
|
25
|
50
|
7
|
PAPUA
|
2.382
|
225
|
225
|
450
|
Total
|
1.019
|
1.019
|
2.038
|
Prosedur Pemilihan Sampel
Unit
sampel (sampling unit) yang menjadi
unit observasi dalam kegiatan penelitian ini secara keseluruhan mencakup tiga jenis,
yaitu:
- Rumah tangga dengan ODHA atau rumah tangga target
- Rumah tangga Non-ODHA atau rumah tangga kontrol
- Anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV
Rumah
tangga dengan ODHA atau selanjutnya sering disebut dengan Ruta ODHA dalam studi
ini merupakan unit observasi utama atau target yang akan diteliti perilaku
sosial ekonominya khususnya yang berkaitan dengan status HIV yang disandang
oleh anggota rumah tangganya. Sejalan dengan itu, Ruta ODHA dalam konteks ini
disebut juga sebagai rumah tangga target. Rumah tangga Non-ODHA yang
selanjutnya sering disebut sebagai Ruta Non-ODHA merupakan unit observasi
berikutnya pada studi ini yang juga akan diteliti perilaku sosial ekonominya
untuk dibandingkan dengan Ruta ODHA.
Sejalan dengan fungsinya, Ruta Non-ODHA disebut juga sebagai rumah tangga
kontrol.
Unit
observasi ketiga dalam studi ini adalah individu yang terinfeksi HIV atau ODHA
yang akan diteliti perilaku sosial ekonominya khususnya yang berkaitan dengan
infeksi HIV yang dideritanya. Selain itu, juga akan diteliti
perlakuan-perlakuan yang tidak normatif, baik yang dilakukan masyarakat atau
bahkan dari keluarganya sendiri, yang terpaksa harus diterima oleh ODHA.
Perlakuan tidak normatif tersebut antara lain berupa tindakan diskriminatif,
stigma, perlakuan tidak senonoh dan pengucilan/ pengisolasian.
Rumah
tangga sampel terpilih, baik Ruta ODHA maupun Ruta Non-ODHA pada pelaksanaan
survei SDGK09 akan didatangi petugas lapangan untuk dicacah dengan kuesioner
SDGK09-K. Sedangkan keseluruhan ODHA yang terpilih sampel akan dicacah dengan
Daftar SDGK09-M dan pada tahap berikutnya sebagian dari mereka akan dipilih
menjadi responden penelitian kualitatif.
Pemilihan
sampel ODHA, rumah tangga ODHA dan rumah tangga Non-ODHA dilakukan secara serentak,
namun prosedur dan cara pemilihan sampelnya dilakukan masing-masing secara
independen. Pemilihan sampel ODHA untuk dijadikan responden studi mendalam
dilakukan tersendiri oleh petugas penelitian kualitatif.
iii. Hasil
Karakteristik Responden Rumah Tangga
Secara
umum ada 996 rumah tangga ODHA dan 996 rumah tangga Non-ODHA yang menjadi
responden penelitian ini. Sedangkan jumlah responden ODHA adalah 1,106 orang. Analisis
karakteristik rumah tangga pada bagian ini dilihat melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan rumah tangga dan pendekatan individu. Pendekatan rumah tangga
dilakukan dengan cara meneliti variabel-variabel yang dapat menunjukkan
ciri-ciri rumah tangga, antara lain: struktur rumah tangga, pendapatan rumah tangga,
pengeluaran rumah tangga dan jumlah kematian. Pendekatan individu dilakukan
dengan meneliti variabel-variabel yang menjelaskan tentang karakteristik
individual termasuk kepala rumah tangga, antara lain umur, jenis kelamin dan
status perkawinan, pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.
Tabel 2 Persentase Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Pekerjaan
dan Pendidikan Kepala Rumah Tangga Menurut Klasifikasi Rumah Tangga
Ruta ODHA
|
Ruta Non-ODHA
|
|
Jenis
Kelamin Kepala Rumah Tangga
|
||
Laki-Laki
|
75
|
85
|
Perempuan
|
25
|
15
|
Kelompok
Umur
|
||
15-19
|
0
|
1
|
20-24
|
5
|
6
|
25-49
|
61
|
66
|
50+
|
34
|
27
|
Status
Perkawinan
|
||
Belum Kawin
|
16
|
13
|
Kawin
|
59
|
73
|
Cerai mati
|
18
|
9
|
Cerai hidup
|
8
|
5
|
Bidang
Pekerjaan
|
||
Jasa Pendidikan/Kesehatan/Kemasyarakatan
|
22
|
20
|
Perdagangan
|
16
|
18
|
Transportasi/Komunikasi
|
8
|
9
|
Jasa perorangan yg melayani ruta
|
9
|
8
|
Admin/Pemerintahan
|
5
|
10
|
Lainnya
|
13
|
17
|
Tidak Bekerja
|
27
|
16
|
Walaupun
pemilihan rumah tangga kontrol (Ruta Non-ODHA) sudah diupayakan sedemikian rupa
agar memiliki kemiripan karakteristik tetapi pada akhirnya persentase kepala
rumah tangga yang tidak bekerja pada Ruta ODHA (27 persen) lebih tinggi
dibanding dengan Ruta Non-ODHA (16 persen). Sebaliknya, persentase kepala Ruta ODHA
yang bekerja di sektor administrasi/Pemerintahan (5 persen) hanya setengah dari
kepala rumah tangga Ruta Non-ODHA.
Separuh
lebih dari 1,106 ODHA yang masih hidup dan menjadi responden dalam survei ini,
termasuk pada kelompok Penasun yang mencapai 58 persen. Berdasarkan Surveilans
Terpadu Biologis Perilaku (STBP) 2007 Penasun merupakan kelompok berisiko yang
memiliki prevalensi HIV paling tinggi. Kelompok kedua terbanyak adalah responden yang
dikategorikan sebagai kelompok penularan dari suami/istri (18 persen).
Walaupun
tidak sampai seperlima dari semua kasus yang ditemukan, ini merupakan indikasi
penularan telah terjadi dalam rumah tangga. Konsekuensi dalam upaya pencegahan
HIV adalah diperlukan edukasi tentang HIV dan AIDS di tengah masyarakat yang
lebih luas sebagai langkah preventif untuk antisipasi penularan ibu kepada
bayinya.
Sebagian
besar responden ODHA laki-laki termasuk kedalam kelompok Penasun sedangkan
sebagian besar responden ODHA perempuan dikategorikan sebagai kelompok
penularan dari suami/istri. Sedangkan responden yang mewakili kelompok Waria
dan LSL jumlahnya cukup kecil, oleh karena itu analisa hasil penelitian ini
tidak dapat dilakukan menurut kelompok HIV.
Seperti
perkiraan banyak pihak, kebanyakan responden ODHA rata-rata berada pada usia
produktif yaitu 25-49 tahun. Secara keseluruhan persentase responden ODHA laki-laki
(70 persen) jauh lebih banyak dibandingkan responden ODHA perempuan (30 persen).
Persentase responden ODHA laki-laki pada kelompok umur 25-49 tahun (85 persen) juga
lebih tinggi dari responden ODHA perempuan (73 persen). Sedangkan pada kelompok umur yang lebih muda
(0-14; 15-19 dan 20-24 tahun) persentase ODHA perempuan lebih tinggi antara 4 –
5 persen, sehingga rerata umur responden ODHA perempuan (28 tahun) 2 tahun
lebih muda dari laki-laki (30 Tahun)
Distribusi
kelompok umur responden ODHA tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang
terinfeksi HIV pada usia lebih muda dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini bisa
saja terjadi karena perempuan pada usia yang lebih dini sudah terpapar HIV dari
pasangannya yang berusia lebih dewasa. Pada bagian berikutnya, kita akan
melihat perbedaan kemungkinan sumber paparan HIV pada responden laki-laki dan
perempuan.
Sama seperti
struktur tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh orang dewasa di
Indonesia pada umumnya, sebagian besar (68 persen) responden ODHA berusia 18
tahun keatas juga tamat SLTA atau sederajat. Sedangkan prosentase responden ODHA
yang tidak tamat SLTP masih cukup banyak yaitu 14 persen. Berdasarkan status
perkawinannya, hampir 90 persen ODHA perempuan pernah menikah, dan hanya 50
persen ODHA laki-laki yang pernah menikah. Hal ini merupakan indikator bahwa
perempuan cenderung menikah pada usia lebih muda dibandingkan dengan laki-laki.
Temuan yang
menonjol dari status perkawinan responden adalah status perceraiannya. Sebanyak
37% responden ODHA perempuan telah bercerai, baik cerai hidup maupun cerai
mati. Angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan responden ODHA laki-laki
yang hanya 16%. Sebaliknya persentase responden ODHA laki-laki yang belum kawin
(49 persen) jauh lebih tingi bila dibandingkan dengan responden ODHA perempuan
(13 persen).
Data menunjukkan
bahwa sebanyak 75% ODHA laki-laki memiliki pekerjaan pada saat disurvei.
Umumnya bekerja sebagai buruh/karyawan sebanyak 41%, usaha sendiri 27%, dan
bekerja sebagai pekerja lepas sebanyak 7%. Sedangkan untuk ODHA perempuan,
hanya setengah dari responden yang memiliki pekerjaan pada saat disurvei.
Sebanyak 19% memiliki usaha sendiri, 27% persen bekerja sebagai buruh/karyawan,
dan 6 % bekerja sebagai pekerja lepas.
Persentase
reponden ODHA perempuan usia 18 tahun keatas yang tidak berkerja hampir 2 kali
lipat dari responden ODHA laki-laki. Situasi ini sebenarnya umum terjadi di
Indonesia dimana peran perempuan lebih banyak sebagai pengurus rumah tangga
dibanding pencari nafkah utama.
Tahun konfirmasi
adalah tahun ketika seorang ODHA didiagnosa terinfeksi HIV.
Kecenderungan tahun konfirmasi HIV responden ODHA laki-laki maupun
perempuan relatif sama dengan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dan dicatat
oleh Kementerian Kesehatan. Situasi ini juga sejalan dengan ekspansi tempat
layanan konseling dan testing HIV sukarela sejak 7 – 8 tahun yang lalu.
Sedangkan jika
dilihat perbandingan waktu konfirmasi HIV, persentase responden ODHA laki-laki yang
sudah mengetahui status HIV nya lebih dari 5 tahun yang lalu (14 persen) 2 kali
lebih banyak dibanding ODHA perempuan. Sebaliknya responden ODHA perempuan yang
baru mengetahui status HIV nya dalam 1 tahun terakhir jauh lebih tinggi dari
ODHA laki-laki. Situasi ini dapat diartikan
bahwa infeksi HIV 5 tahun yang lalu lebih banyak terjadi pada laki-laki
dengan latar belakang Penasun dan kemudian baru diikuti oleh penularan HIV
melalui hubungan seks sehingga perempuan yang terinfeksi HIV meningkat jumlahnya
dalam beberapa tahun terakhir.
Pendidikan berkorelasi positif
dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin
berkualitas hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya. Tabel
3 diatas menggambarkan
bahwa secara umum tidak ada perbedaan signifikan pada persentase tingkat
pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh responden usia 18 tahun keatas dari
rumah tangga ODHA dan Non-ODHA. Bahkan persentase responden ODHA yang tamat
SLTA lebih tinggi dari Non-ODHA di rumah tangga ODHA maupun non-ODHA.
Tabel 3 Persentase Tingkat Pendidikan Tertinggi Responden Usia
18 Tahun Keatas Menurut Status HIV dan Klasifikasi Rumah Tangga
Pendidikan Tertinggi
|
Ruta ODHA
|
Ruta
Non-ODHA
|
||
ODHA
|
Non-ODHA
|
Total
|
||
Tidak Tamat SD
|
4
|
6
|
5
|
5
|
SD
|
10
|
18
|
15
|
15
|
SLTP
|
18
|
17
|
17
|
18
|
SLTA
|
54
|
46
|
49
|
47
|
Universitas
|
14
|
14
|
14
|
16
|
Gambaran tingkat pendidikan
responden penelitian ini, secara umum juga relatif sama dengan situasi
pencapaian pendidikan tertinggi di masyarakat umum, dimana persentase
pendidikan tertinggi yang pernah ditamatkan terbesar adalah tingkat SLTA atau sederajat.
HIV dan AIDS memiliki
dampak besar pada pendidikan anak-anak dengan mempengaruhi akses dan kualitas
pendidikan. Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV sedikit banyak
telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin anak-anak
usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu membayar
biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau
pengeluaran kesehatan meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik
keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk
menambah pendapatan keluarga. Anak yang lahir dari orang tua dengan HIV-positif
atau anak-anak terinfeksi HIV mungkin akan ditolak untuk akses ke sekolah
karena rasa takut dan stigma.
Pengelompokan umur
dalam pembahasan ini dibatasi pada 3 kelompok umur yaitu umur 6-12 tahun yang
mencerminkan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), umur 13-15 tahun
mencerminkan tingkat pendidikan SLTP dan umur 16-18 tahun pada SLTA.
Penelitian ini menemukan
bahwa tidak ada perbedaan partisipasi sekolah di tingkat pendidikan dasar (usia
6-12 tahun) antara anggota rumah tangga dari rumah tangga ODHA dan Non-ODHA.
Perbedaan tingkat partisipasi mulai terlihat pada jenjang pendidikan diatasnya
yang merupakan kelompok usia tingkat pendidikan SLTP (13-15 tahun), dimana
secara umum persentasenya jauh lebih rendah dari kelompok sebelumnya dan
persentase pada rumah tangga ODHA lebih rendah dari rumah tangga Non-ODHA.
Jurang perbedaan persentase partisipasi sekolah antara rumah tangga ODHA dan
Non-ODHA semakin lebar sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel
4 dimana persentase
perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga ODHA dan Non-ODHA pada
tingkat SLTP adalah 10 persen meningkat menjadi 19 persen pada tingkat SLTA dan
50 persen pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi dari pada keluarga ODHA.
Tabel 4 Persentase Responden Yang Masih Sekolah Menurut
Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Klasifikasi Rumah Tangga
Kelompok
Umur
|
Ruta
ODHA
|
Ruta
Non ODHA
|
||||
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
|
0-5 Thn
|
23
|
32
|
29
|
26
|
39
|
31
|
6-12 Thn
|
91
|
91
|
91
|
89
|
93
|
91
|
13-15 Thn
|
92
|
84
|
87
|
93
|
99
|
96
|
16-18 Thn
|
57
|
59
|
58
|
76
|
63
|
69
|
19-24 Thn
|
12
|
12
|
12
|
28
|
20
|
24
|
25+ Tahun
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Total
|
15
|
17
|
16
|
23
|
21
|
22
|
Gambar
5 dibawah menunjukkan
bahwa persentase responden ODHA berusia 5-18 tahun yang masih sekolah jauh lebih
kecil (53 persen) jika dibandingkan dengan responden Non-ODHA dirumah tangga
ODHA (78 persen) dan Non-ODHA (82 persen). Sebaliknya persentase responden ODHA
usia 5-18 tahun yang belum pernah sekolah dan tidak sekolah lagi lebih tinggi
hingga 3 kali lipat lebih dari reponden Non-ODHA di rumah tangga ODHA dan Non-ODHA.
Hal ini sudah diprediksi, karena seperti data yang terlihat sebelumnya, rumah
tangga ODHA yang miskin cenderung lebih miskin daripada rumah tangga Non-ODHA
dan alokasi yang dikeluarkan untuk pendidikan juga lebih kecil.
Angka Putus Sekolah
Beberapa survei yang
berkaitan dengan dampak HIV terhadap pendidikan anak menunjukkan bahwa terdapat
korelasi positif antara rumah tangga ODHA dengan jumlah anak putus sekolah.
Dimana jumlah anak putus sekolah dalam rumah tangga ODHA cenderung lebih banyak
dibandingkan pada rumah tangga Non-ODHA. Pada rumah tangga ODHA, kemungkinan
anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar daripada anak laki-laki. Hal ini
disebabkan karena anak perempuan diwajibkan untuk bisa mengurus rumah tangga
dan merawat anggota keluarga yang sakit, sehingga pendidikannya dikorbankan.
Berdasarkan hasil studi
ini, ada 69 anak usia 5-17 tahun yang terpaksa harus berhenti bersekolah yang
terdiri atas 38 dari 520 anak di rumah tangga ODHA atau sekitar 7 persen, dan
31 dari 656 anak di ruta non ODHA atau 5 persen. Ada berbagai macam alasan yang
membuat anak harus putus sekolah antara lain adalah pendidikan dirasakan cukup,
tidak punya biaya, malu, membantu orang tua dan lain sebagainya.
Tabel 5 Jumlah
Responden Yang Sering Bolos Menurut Alasannya, Jenis Kelamin dan Klasifikasi
Rumah Tangga
|
Ruta
ODHA
|
Ruta
Non ODHA
|
||||||||
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
|||||
Pendidikan dirasakan cukup
|
1
|
0
|
1
|
3
|
0
|
3
|
||||
Tidak punya biaya
|
7
|
12
|
19
|
8
|
7
|
15
|
||||
Malu
|
0
|
2
|
2
|
0
|
0
|
0
|
||||
Membantu orang tua
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
3
|
||||
Lainnya
|
4
|
10
|
14
|
5
|
5
|
10
|
||||
Total
|
13
|
25
|
38
|
17
|
14
|
31
|
||||
Menurut alasan berhenti
sekolah, baik pada rumah tangga ODHA maupun rumah tangga Non-ODHA alasan yang
paling banyak diungkapkan responden adalah faktor ekonomi yaitu karena tidak
punya biaya. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung ditambah dengan
pengeluaran kesehatan anggota rumah tangga yang terinrfeksi HIV membuat anak
usia sekolah terpaksa harus berhenti. Pada rumah tangga ODHA, 19 dari 38 anak
menjawab demikian.
Tingkat Kehadiran
Selain berdampak pada
tingginya angka putus sekolah, HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat
kehadiran anak di sekolah. Persentase anak yang sering bolos sekolah dari
anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah tangga ODHA jauh lebih tinggi
(17 persen) dibanding rumah tangga Non-ODHA (7 persen).
Pengalaman pernah tidak
naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga ODHA (16 persen) juga
lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-ODHA. Hal ini bisa saja berkaitan
dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga
ODHA. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah
dari rumah tangga ODHA (16 persen) lebih dari 2 kali lipat rumah tangga
Non-ODHA (7 persen).
Alasan yang paling
banyak diungkapkan oleh 135 responden yang sering bolos sekolah adalah karena
malas (58 persen) dimana proporsi responden dari rumah tangga Non-ODHA yang
menyatakan alasan tersebut jauh lebih besar (70 persen) dibanding responden
dari rumah tangga ODHA (51 persen). Alasan lainnya yang diungkapkan adalah
karena bekerja (sekitar 4 persen) dan merawat orang sakit (2 persen).
Tabel
6 Persentase
Responden Yang Masih Sekolah dan Sering Bolos, Pernah Tidak Naik Kelas dan
Pindah Sekolah Menurut Jenis Kelamin dan Klasifikasi Rumah Tangga
|
Ruta ODHA
|
Ruta Non ODHA
|
|||||||||
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
||||||
Sering Bolos
|
17
|
18
|
17
|
8
|
6
|
7
|
|||||
Pernah Tidak Naik Kelas
|
17
|
14
|
16
|
10
|
10
|
10
|
|||||
Pernah Pindah Sekolah
|
17
|
16
|
16
|
8
|
6
|
7
|
|||||
Sedangkan alasan pindah
sekolah yang paling sering diungkapkan oleh rumah tangga Non-ODHA adalah karena
pindah tempat tinggal (72 persen) dan mencari sekolah yang lebih sesuai baik
lokasi maupun situasinya (23 persen). Distribusi alasan pindah sekolah anggota
rumah tangga ODHA sangat berbeda dengan rumah tangga ODHA, walaupun alasan pindah
sekolah karena pindah tempat tinggal (33 persen) juga yang paling sering
diungkapkan tetapi alasan lainnya yang cukup banyak adalah karena malu (21
persen), jauh lebih tinggi dari rumah tangga Non-ODHA yang hanya 3 persen. Kategori alasan malu
dalam survei ini adalah malu karena keluarga/dirinya terinfeksi HIV atau karena
tidak naik kelas, dimana seperti dipaparkan pada tabel sebelumnya persentase
anggota rumah tangga ODHA yang tidak naik kelas juga jauh lebih tinggi dari
anggota rumah tangga Non-ODHA.
Gambar 6 Persentase
Alasan Pindah Sekolah Dari Responden Yang Masih Sekolah Menurut
Klasifikasi Rumah Tangga
Status Sekolah dan Biaya Pendidikan
Sebagian besar anak-anak
dari kedua kelompok rumah tangga saat ini bersekolah di sarana pendidikan milik
pemerintah. Walaupun demikian, persentase anak dari rumah tangga ODHA (31
persen) yang sekolah di sarana pendidikan swasta lebih tinggi dibanding anak
dari rumah tangga Non-ODHA (25 persen). Hal ini cukup menarik karena pada
umumnya biaya pendidikan di sarana pendidikan swasta lebih tinggi dari sarana
pendidikan pemerindan tingkat kemampuan ekonomi rumah tangga ODHA lebih rendah
dari rumah tangga Non-ODHA.
Sebagian besar rumah
tangga mampu membiayai pendidikan anaknya saat ini dan persentase rumah tangga
ODHA yang mampu membiayai pendidikan anaknya (80 persen) sedikit lebih rendah
dari rumah tangga Non-ODHA (84 persen). Sedangkan persentase rumah tangga yang
mampu membiayai anaknya hingga tingkat pendidikan yang dianggap mudah
mendapatkan pekerjaan secara umum sedikit lebih rendah dari persentase rumah
tangga yang mampu membiayai pendidikan saat ini.
Tabel
7 Persentase
Rumah Tangga Menurut Kemampuan, Pembiayaan dan Jenjang Pendidikan Ideal Serta
Klasifikasi Rumah Tangga
|
Ruta
ODHA
|
Ruta
Non ODHA
|
|
Mampu membiayai pendidikan saat ini
|
80
|
84
|
|
Mampu membiayai sampai jenjang pendidikan yang harapkan
|
78
|
81
|
|
Pendidikan anak didukung oleh pihak lain dalam 1 tahun terakhir
|
26
|
23
|
|
Bentuk Dukungan (% dari yang menerima dukungan pihak lain)
|
|||
Biaya Pendidikan
|
46
|
56
|
|
Uang
|
43
|
34
|
|
Lainnya
|
11
|
9
|
|
Pemberi Dukungan Utama (% dari yang menerima dukungan pihak
lain)
|
|||
Keluarga
|
56
|
38
|
|
Pemerintah
|
37
|
55
|
|
Lainnya
|
3
|
4
|
|
Jenjang Pendidikan Ideal
|
|
|
|
SLTA
|
45
|
40
|
|
Akademi
|
7
|
9
|
|
S1
|
44
|
46
|
|
S2
|
4
|
6
|
|
Jenjang Pendidikan ideal yang paling
banyak diungkapkan oleh kepala rumah tangga ODHA adalah SLTA (45 persen)
sedangkan dari kepala rumah tangga Non-ODHA adalah Strata 1/sarjana (46
persen). Perbedaan persepsi kepala rumah tangga
tentang jenjang pendidikan ideal bagi anaknya sangat dipengaruhi oleh
pengalamannya pribadi dan kemampuan ekonomi rumah tangga saat ini.
Sebanyak 26 persen
rumah tangga ODHA dan 23 persen rumah tangga Non-ODHA mengaku menerima dukungan
dari pihak lain dalam 1 tahun terakhir untuk pendidikan anaknya. Sebagian besar
rumah tangga ODHA (56 persen) yang menerima bantuan untuk pendidikan,
mengaku menerimanya dari pihak keluarga,
sedangkan sebagian besar rumah tangga Non-ODHA (55 persen) menerima bantuan
pendidikan dari pemerintah. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan persentase
anggota rumah tangga ODHA yang sekolah di sarana pendidikan swasta karena jika
dilihat dari kemampuan ekonomi jelas sekali lebih banyak rumah tangga ODHA yang
memerlukan bantuan untuk pendidikan anak dari pemerintah, tetapi kenyataannya
lebih banyak rumah tangga Non-ODHA yang menerimanya.
Bentuk bantuan yang
paling banyak diterima berupa biaya pendidikan, diikuti oleh bantuan berbentuk uang
dan bantuan lainnya termasuk peralatan sekolah. Persentase rumah tangga ODHA
yang menerima bantuan pendidikan berupa uang sebanyak 43 persen, lebih tinggi
dibanding rumah tangga Non-ODHA (34 persen). Bentuk bantuan tentunya sangat
berkaitan dengan sumber bantuan, dan karena rumah tangga ODHA lebih banyak menerima
bantuan dari keluarga daripada dari pemerintah maka wajar saja jika persentase
yang menerima bantuan berupa uang juga lebih tinggi.
Sedangkan rerata
pengeluaran total rumah tangga untuk pendidikan anak secara umum relatif kecil
jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk komponen lainnya, bahkan merupakan
komponen pengeluaran yang paling kecil dan kurang dari setengah pengeluaran
rumah tanggga untuk rokok. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan anak kurang
menjadi prioritas bagi rumah tangga yang menjadi responden penelitian ini dan
hampir sama dengan gambaran struktur pengeluaran masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Perbandingan rerata
pengeluaran untuk pendidikan menunjukan bahwa pengeluaran pendidikan rumah
tangga ODHA (Rp. 52,251) jauh lebih kecil dari rumah tangga Non-ODHA (Rp.
82,253) walaupun rerata total pengeluaran rumah tangga ODHA jauh lebih besar
dari rumah tangga Non-ODHA. Gambaran tersebut menunjukan bahwa pengeluaran
pendidikan lebih menjadi tidak prioritas pada rumah tangga ODHA.
Gambar 7
Rerata dan Proporsi Pengeluaran Pendidikan
Menurut Klasifikasi Rumah Tangga
Stigma dan Diskriminasi di Lingkungan Tempat
Tinggal Dan Sekolah
Sebagaimana
telah diulas sebelumnya, vonis yang mengatakan telah terjadi diskriminasi
terhadap ODHA harus ditempatkan secara proporsional agar tidak bias dalam
mempersoalkannya. Ketika membahas diskriminasi yang terjadi di lingkungan
tempat tinggal misalnya, maka hal pertama yang perlu dipastikan adalah apakah
para tetangga tahu mengenai status ODHA pada ART dari rumah tangga target.
Hasil survei yang dilakukan terhadap 996 rumah tangga ODHA di 7 provinsi wilayah penelitian mengungkapkan
bahwa hanya 163 rumah tangga (16 persen) yang memastikan bahwa para tetangganya
tahu mengenai keberadaan ODHA di dalam rumah tangganya. Ketika ditanyakan
kembali kepada 163 rumah tangga tersebut apakah pernah mendapatkan perlakuan
diskriminatif dari para tetangga, Sebagian besar rumah tangga di seluruh
wilayah penelitian menyatakan tidak pernah menerima perlakuan diskriminasi,
hanya 58 rumah tangga atau 36 persen di antaranya yang menyatakan pernah
menerima perlakuan diskriminasi dari tetangga tempat tinggal mereka.
Dari 58 rumah
tangga yang mengalami diskriminasi tersebut, jenis diskriminasi yang paling
banyak dialami rumah tangga di lingkungan tempat tinggalnya adalah, dihindari
para tetangga (34 rumah tangga). Diskriminasi terbanyak kedua adalah kekerasan
verbal (31 rumah tangga), kemudian rumah tangga HIV tidak diijinkan bermain
dengan anak tetangganya (22 rumah tangga). Selain itu, sebanyak 15 rumah tangga
mengaku para tetangganya tidak lagi mau meminjamkan apapun kepada mereka.
Sebanyak 7 rumah tangga pernah mendapatkan kekerasan fisik. Bagi rumah tangga
ODHA yang memiliki usaha warung, 12 di antaranya mengaku jumlah pembelinya
semakin berkurang. Profil lengkap jenis perlakuan diskriminasi yang terjadi di
lingkungan tempat tinggal dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel
8 Persentase Rumah Tangga ODHA Yang Mendapat
Perlakuan Diskriminasi Di Lingkungan Tempat Tinggal Menurut Jenis Kelamin
Kepala Rumah Tangga
Jenis Diskriminasi dari Tetangga
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Total
|
Dihindari
|
18
|
28
|
21
|
Kekerasan verbal
|
19
|
20
|
19
|
Tidak diijinkan bermain bersama
|
11
|
20
|
14
|
Tidak lagi meminjamkan apapun
|
8
|
12
|
9
|
Tidak mau berteman
|
7
|
12
|
9
|
Tidak diterima lingkungan
|
6
|
12
|
8
|
Diboikot secara sosial
|
6
|
10
|
7
|
Jumlah pembeli berkurang
|
6
|
10
|
7
|
Kekerasan fisik
|
4
|
4
|
4
|
Dihalangi menggunakan sumur umum
|
3
|
4
|
3
|
Dalam kuesioner
SDGK09-M, beberapa kemungkinan perlakuan diskriminatif yang terjadi di
lingkungan sekolah juga sudah ditampung. Berkaitan dengan hal tersebut, dari
996 rumah tangga yang menjadi sampel penelitian, hanya terdapat 316 rumah
tangga ODHA yang memiliki anggota rumah tangga masih sekolah. Dari angka
tersebut, hanya 5 rumah tangga yang menyatakan bahwa pihak sekolah mengetahui
bahwa di rumah tangganya ada anggota rumah tangga dengan status ODHA. Namun,
dari 5 rumah tangga tadi, hanya ada 1 rumah tangga yang mengaku ada
diskriminasi dari pihak sekolah, yaitu guru membatasi tanya jawab dengan
anggota rumah tangga HIV yang bersekolah tersebut.
iv. Kesimpulan
dan Rekomendasi
Kesimpulan
Penelitian ini
menggunakan data yang dikumpulkan langsung dari 996 rumah tangga ODHA dan 996
rumah tangga Non-ODHA sebagai pembanding, yang tersebar di 13 kota dalam 7
provinsi dengan tingkat prevalensi HIV berbeda untuk mengetahui dampak HIV dan
AIDS pada rumah tangga. Hasil penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa walaupun
secara makro dampak epidemi HIV belum terlalu besar tetapi pada tingkat rumah
tangga sudah sangat memprihatinkan
Penelitian ini
menemukan dampak HIV pada pendidikan anak-anak dan masalah stigma sosial juga
di dapati sebagai masalah serius yang perlu segera ditindaklanjuti karena
menyebabkan sebagian besar ODHA tidak membuka status HIV-nya pada lingkungan
sekitarnya bahkan pada keluarga dan pasangan hidupnya sehingga mereka tidak
mendapatkan layanan dan bantuan yang seharusnya. Penyebab utama stigma dan
diskriminasi adalah rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV.
Infeksi HIV
lebih banyak terjadi pada responden laki-laki usia produktif, sehingga
menyebabkan mereka menjadi kurang atau tidak produktif lagi dan perubahan
sebagian struktur rumah tangga ODHA. Dampaknya yang dapat dilihat dari
penelitian ini adalah lebih tingginya proporsi anak yang bekerja dan putus
sekolah serta perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama.
Sebagian besar perempuan ODHA yang terinfeksi pernah atau sedang menikah
memiliki pasangan suami yang terlebih dahulu terinfeksi. Ini menunjukkan bahwa
eksistensi penularan HIV dari pasangan intim sudah tampak di Indonesia.
Perempuan mengalami dua dampak sebagai korban yang terinfeksi karena relasi
dengan pasangan intim dan dampak lanjut sebagai dalam rumah tangga ODHA karena
harus menjadi penyokong utama dalam keluarga ODHA tersebut.
Terkait dengan
pendidikan anak, sangat jelas terlihat dari hasil penelitian ini bahwa
pengeluaran rumah tangga ODHA untuk biaya pendidikan anak jauh lebih kecil
dibandingkan rumah tangga Non-ODHA. Secara nominal, rerata pengeluaran biaya
pendidikan per kapita per bulan rumah tangga ODHA hanya 43 persen dari rumah
tangga Non-ODHA. Sedangkan dari proporsi pengeluaran keseluruhan per bulan,
rumah tangga ODHA hanya mengalokasikan 1/3 dari alokasi biaya pendidikan di rumah
tangga Non-ODHA. Hasil penelitian ini juga menemukan hampir 50 persen ODHA usia
sekolah yang tidak bersekolah dan hanya seperempat rumah tangga ODHA yang
menerima bantuan untuk pendidikan anaknya.
Rekomendasi
Temuan dari
penelitian ini membutuhkan tindak lanjut yang perlu segera dilakukan untuk
mengurangi dampak HIV dan AIDS. Respon yang terhadap temuan penelitian ini
idealnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-dimensi mengingat
beragamnya isu dan komplikasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa rekomendasi
yang perlu ditindaklanjuti adalah sebagai berikut:
-
Upaya mitigasi
dampak HIV dan AIDS harus menjadi bagian yang terintegrasi dari dari strategi
penanggulangan AIDS di semua tingkat pemerintahan dan mendapatkan alokasi
pendanaan yang memadai. Peran sentral Komisi Penanggulangan AIDS disemua
tingkat pemerintahan untuk merespon rekomendasi ini melalui fungsi advokasi dan
koordinasi yang dimilikinya akan menjadi salah satu kunci keberhasilan.
-
Banyaknya anak
usia sekolah dari rumah tangga ODHA maupun anak dengan HIV yang tidak sekolah
lagi perlu mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Rencana kerja yang terintegrasi untuk memberikan kesempatan bagi anak dari
rumah tangga ODHA untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi juga dapat
membantu pengendalian HIV dan AIDS dimasa depan.
[1] Country report on the follow up
to the declaration of Commitment on HIV/AIDS (UNGASS), 2006-2007, National AIDS
Commission, Republic of Indonesoa, p-9.
[2] Laporan Estimasi Populasi Dewasa
Rawan Terinfeksi HIV Tahun 2009. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2009
[3] Integrated Bio-Behavioral
Surveilance Survey Among Most at Risk Population in Indonesia 2007, MoH, BPS,
USAID and FHI-ASA
[4] Redefining AIDS in Asia, Report
of the Commission on AIDS in AIDS, Oxford, 2006.